Tak ada anak-anak yang berlarian di halaman sekolah. Â Bukan sepi. Tapi terisi oleh puluhan kendaraan roda dua dan roda empat. Beberapa wajah orangtua siswa yang kukenal, melemparkan tatapan dan anggukan.
Mungkin mereka memberikan senyuman, namun tertutup beragam bentuk masker. Atau seperti biasa, senyuman terpaksa sebagai balas sapa, karena sudah menunggu lama.
"Belum keluar, Da!"
Kalimat pendek yang tak terlalu jelas dari Mas Topan, menyambut uluran tangan kananku. Tak lagi ada bertukar salam, atau bercengkrama akrab tak berjarak. Keberadaan korona memang luar biasa. Mampu mengatur jarak sebagai garis batas antara kehidupan dan kematian.
"Uda, berapa tadi?"
"37.5!"
Mataku mengikuti pandangan mata Mas Topan yang mengarah ke gerbang. Sepertiku tadi, benda ajaib itu, diajukan ke tangan atau dahi setiap orang yang sebelum memasuki gerbang.
Semua harus patuh, atas nama menjaga protokol kesehatan. Sebagai syarat, agar sekolah boleh melaksanakan belajar dengan cara tatap muka.
"Sudah baca grup WA, Da?"
Belum sempat kujawab pertanyaan ayah Haura, yang masih berpakaian polisi lengkap itu. Kak Ujang, pemilik toko pakaian memarkirkan motor matic keluaran terbaru, di samping kiri motorku. Seperti Mas Topan tadi, aku pun mulai terbiasa menyapa dengan anggukan kepala.
***