Ia meminjam nama Hamba Allah, karena nama itu paling sering terdengar dari menara. Nama itu pernah digunakan pemilik sawah dan rumah bercat biru, sebelum berganti taman kota yang dibangun baru.
Surat itu menggunakan aksara-aksara rahasia, agar tak siapapun mampu membaca. Ditulis pada sehelai daun kering yang terjuntai di pagar, biar para pakar dan penggemar tak menemukan pesan yang tersamar.
Jika menggunakan Hamba Allah sebagai nama, ia menduga surat itu pasti dibaca. Di bawah potongan pohon rambutan, di sela-sela rintik hujan. Dua puluh enam pinta berujung doa, disusun bertinta air mata.
"Itu air mata kebahagiaan!" Langit menebar senyuman.
"Itu air mata penderitaan!" Tanah menahan kesedihan.
"Itu bukan air mata kebahagiaan, bukan pula penderitaan. Hanya butiran air yang bersumber dari mata." Angin bersabda tiba-tiba, dan berlalu.
Jelang senja, sekawanan semut rang-rang tergesa datang. Memotong daun kering itu kecil-kecil, sebelum diangkut ke sarang. Seekor kunang-kunang meratap pada seekor semut bersayap. Penuh harap.
"Kau mau mengantarkan suratku, kan?"
Curup, 06.01.2021
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H