"Tidak selamanya angin bertiup seperti harapan para pelaut."
Sepotong petuah kuno ini, kukira cukup untuk menjelaskan, hidup kadangkala tak selalu sesuai harapan.
Seorang pelaut tak akan berhenti menjadi pelaut, hanya karena tak ada angin. Pelaut yang tangguh, akan terus berusaha menemukan cara menaklukkan laut tanpa angin. Begitu juga cara mengendalikan perahu saat diterjang badai dahsyat di tengah samudra.
Berbeda kisah dengan petani. Tiga bulan sebelum pergantian tahun, temanku menyiapkan sepetak lahan yang sengaja ditanami jagung. Berharap, saat pergantian tahun akan panen. Dan meraih keuntungan di malam tahun baru.
Namun, curah hujan yang tinggi di bulan Nopember dan Desember, memberangus harapan itu. Hasil panen, tak cukup mengembalikan modal awal yang sudah dikeluarkan. Belum terhitung waktu serta tenaga.
Sebaliknya. Jika musim kering dan nyaris kemarau. Kisah-kisah nyaris serupa tetap saja hadir, dan terus lahir dengan alur yang berbeda. Usai mengeluh sambil menikmati secangkir kopi, teman-temanku akan kembali melanjutkan hidup. Menyelesaikan apa yang sudah dimulai.
Mereka terbiasa berdiri di antara keberhasilan dan kegagalan. Mereka terlatih memupuk kembali harapan, dari pada terbenam berkubang penyesalan. Dan, pengalaman serta pengetahuan tentang laut dan tani terus saja dibagikan secara turun temurun.
Hematku, sosok Pelaut yang tangguh dan Petani yang gigih itu, juga bisa ditemukan di rumah besar Kompasiana. Beliau adalah Mamanda Tjiptadinata Effendi dan Bunda Roselina Tjiptadinata.
Nyaris setiap hari, tersaji tulisan berisi kisah pahit dan manis kehidupan, daya tahan dan perjuangan, serta sketsa kebahagiaan yang inspiratif juga memberi manfaat bagi pembaca. Aku hanya butiran debu dari barisan kisah panjang itu.