Aku mulai tak mengerti alur rasaku. Kaupun mungkin tak pernah ingin tahu. Saat itu, diam-diam aku menitip harap bersama ribuan rintik hujan yang memeluk tubuhmu. Kau masa depanku.
***
"Nama yang cantik! Seperti sang pemilik."
Pertemuan kedua. Di halte yang sama. Hujan yang sama. Di hari yang berbeda. Tawamu renyah mendengar kalimat itu. Rasaku penuh warna. Seakan merayakan momentum bertukar nama, walau tanpa bertukar salam.
Terkadang, kedatangan hujan benar-benar menyejukkan hati. Begitu pula kehadiranmu. Namun, aku merasa khawatir. Jika hujan pergi tanpa pamit, apakah kau juga begitu?
Kau kembali diam. Akupun membiarkan bisu menemui jalan buntu sebuah percakapan. Hingga bis kota menenggelamkan tubuhmu dari pandanganku. Tapi, sebaris nama indahmu tertinggal di hatiku.
***
Aku tak tahu cara bumi meratap langit, atau merapalkan sekumpulan kata mantra paling rahasia yang harus diujarkan. Hingga awan rela melepaskan butiran hujan.
Akupun tak tahu cara menaklukkan kegelisahan tunggu. Satu minggu berlalu, kau dan aku tak lagi pernah bertemu. Tanpa alasan, dan penjelasan. Benakku tak henti berbisik rindu. Padamu.
Sepertimu. Hujan tak pernah berjanji pada waktu. Datang ketika harus, pulang ketika harus. Dan, menghilang tanpa pesan. Tanpa bait-bait perpisahan.
Bila benar kau hadir bersama hujan. Aku akan tetap menantimu. Sebab setelah hujan, akan ada seseorang yang datang sebagai pelangi. Menawarkan dekapan hangat dalam pelukan.