Pernahkah kau memikirkan hal-hal baik dari kedatangan hujan?
Jangan rindu! Sebab rindu adalah kemarau paling buram dari ladang-ladang sepi, yang kau tunggu usai menyemai benih janji. Kau pasti lelah membasuhnya dengan air mata yang senantiasa jatuh. Tanpa gaduh.
Air matamu jauh lebih berharga.
***
Seperti hari ini. Aku selalu mengingat lembar pertama pertemuan itu. Sedikit sungkan, kau anggukkan kepala sebagai isyarat untuk ikut berteduh. Kau pasti mengingat halte sepi ini.
Tiga puluh menit. Duduk berdua. Tanpa suara, apalagi bertukar sapa. Ponsel di genggamanmu menjadi benteng paling ampuh, mempertahankan diri dari rasa ingin tahuku. Jemariku mungkin memupuk iri pada angin di senja itu. Leluasa mengusik legam rambut sebahu. Milikmu.
"Maaf. Sekarang jam berapa?"
Kau terkejut mendengar pertanyaan itu. Kurasakan hangat di wajahku, saat lirik matamu mengeja pergelangan tangan kananku. Akupun tiba-tiba menjadi manusia paling bodoh usai melontarkan pertanyaan itu.
"Sudah mau azan maghrib, kan?"
Kali ini, aku yang terkejut. Kau mau menjawab pertanyaanku. Pertama kali, kunikmati segaris senyummu untukku. Tapi tak lama. Tubuhmu bergerak cepat menembus rintik hujan, kakimu menuju masjid An-nur di seberang jalan yang menggaungkan azan.