Setidaknya, ada tiga bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan isi pikiran di kepala. Bahasa isyarat, bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Dari ketiganya, bahasa tulisan yang lahir dari kegiatan menulis, dianggap memiliki kerumitan tersendiri. Sebab, tak hanya bergelut pada beragam simbol, namun juga tata bahasa dan tata tulis.
Secara harfiah, menulis adalah salah satu cara menuangkan pesan berupa ide, pengalaman atau pengetahuan melalui aksara atau simbol. Tersusun secara sistematis dan dapat dimengerti orang lain.
Pada dasarnya, semua orang memiliki potensi menulis. Namun, tak semua orang dapat menyampaikan pesan itu melalui tulisan.
Apatah alasan sesungguhnya masih banyak yang mengaku sulit menulis? Apatah menulis berpusat pada bakat dan minat?
Aku coba menyigi penyebab hadirnya "black hole" dalam menulis. Berpijak dari pengalamanku semasa sekolah dulu. Materi pelajaran menulis terbagi menjadi tiga tahapan.
Pertama. Belajar untuk Menulis.
Pada kelas tiga SD, baru dianggap mampu menulis. Ukuran bisa menulis itu, tidak lagi meniru yang ditulis oleh guru di papan tulis. Tetapi, menulis dengan lancar tanpa ada kekurangan atau kelebihan huruf saat guru mendiktekan. Jika salah? Didenda!
Tahapan ini, juga tahapan pembentukan tulisan. Semisal bagaimana caranya, agar tulisan bisa dibaca dengan jelas, tidak lagi cakar ayam. Belajar huruf sambung dan huruf indah (kaligrafi). Biasanya, ada buku khusus yang dikenal dengan istilah "tulisan halus kasar".
Kedua. Belajar tentang Tulisan.
Sejak kelas empat hingga kelas enam SD. Siswa mulai belajar tentang tulisan. Berupa penggunaan tanda baca, huruf besar, kata sambung, beragam imbuhan dan susunan kalimat sederhana. Biasanya dilakukan praktiknya dalam pelajaran mengarang dengan tema bebas.
Di SMP, mulai dikenalkan dan memahami beragam paragraf sederhana, termasuk bentuk-bentuk tulisan fiksi dan non fiksi, serta aneka majas. Materi mengarang sudah mulai berdasarkan tema. Pun diharapkan bisa membuat struktur utuh tulisan (semacam outline).