"Kenapa bulan yang masih tampak ketika matahari terbit, disebut bulan kesiangan?"
Duduklah, Anak Muda!
Tak perlu berdiri untuk sekadar bertanya. Akan aku jelaskan ungkapan itu dengan logika yang tenggelam di kepalamu.
Begini. Kau pernah tidur larut malam? Pada akhirnya kau telat menemui pagi. Bangun kesiangan atau datang kesiangan, acapkali menjadi alasan keterlambatan, kan?
"Adakah alasan orang tua masih suka begadang?"
Kukira, kau mulai mengejekku. Nanti, kau akan rasakan dan mengerti. Saat usia hidupmu seumurku.
Ada kalanya, orang tua mengambil peran lebih dari porsi seharusnya. Mesti berpikir dan bertindak secara terukur. Akhirnya, kau tuduh aku seperti bulan yang mampir, ketika giliran matahari hadir.
"Kakek lagi membaca teks pidato?"
Jangan pernah menguji nyali, anak muda! Kalimat sederhanku, bulan itu berposisi sebagai wakil matahari.
Kuakui, ada saja sosok bulan yang terjebak dan merasa diri seperti matahari. Padahal hanya mewakili. Dan itu bukan aku!
"Bukankah wakil itu bermakna pengganti sementara?"
Begitulah seharusnya, Anak Muda!
Secara teori, cahaya bulan tak akan pernah lebih terang! Karena sumber cahayanya adalah matahari. Ingat! Bulan tak memiliki cahaya sendiri.
Sekali lagi, harus kuakui. Ada yang lupa atau sengaja melupakan statusnya, jika sebagai wakil itu adalah sementara. Malah merasa selamanya!
"Dalam rumus apapun, wakil itu ada di posisi kedua. Bukan yang utama, Kek!"
Bersebab itu. Kau jadi tahu, kan? Terkadang, karena status sebagai wakil, dan datang dari posisi kedua, kami acapkali terlambat!
Akupun terbiasa malu, bila ada yang mengaku lebih berperan, lebih berjasa atau lebih banyak berjuang.
Kau tak tahu? Kerap kali, tahu diri serta sadar diri yang menjadi batu sandungan! Jika sudah begitu, maka hadirlah barisan pahlawan kesiangan!
"Kakek termasuk pahlawan kesiangan, kan?"
Jangan bodoh dan asal tuduh! Aku sudah tua, tak mungkin menjadi wakilmu. Tanyakan itu pada wakil-wakil yang seumur denganmu!