"Selamat ulang tahun, Mas!"
Ucapanmu itu, satu dari banyak perbedaan yang masih bertahan di antara kau dan aku. Saat berdua menjejaki waktu bersama. Kau akan menunggu detik awal pergantian hari untuk lakukan itu.
Sejak dulu. Setelah kau bersedia menjadi milikku.
Bagimu. Momen pertambahan usia, adalah hal yang harus dirayakan. Sambil mengulang kenangan dan mengenang ingatan. Harus disyukuri. Seraya kembali menanam harapan dan menyemai doa-doa baru untuk hari-hari baru.
Bagiku. Adalah detak waktu yang tak mampu kucegah untuk terus melaju. Kembali menjadi satu titik kehilangan ruang dan waktu. Merawat impian. Menua denganmu. Dan, tak mungkin kuujarkan itu padamu. Bagiku, lebih baik mencintai dalam sunyi.
Berkali, manik mataku menjadi saksi linangmu.
***
"Mamas!"
Kau sudah berdiri di pintu kamar. Tiba-tiba berlari ke arahku. Memeluk erat. Tak perlu menunggu, kurasakan isak tangismu.
"Sudah dandan cantik. Malah nangis?"
"Gara-gara Mas, kan?"
Seperti tahun-tahun lalu. Di hari ulang tahunmu. Kau selalu menantikan momen pagi itu. Kulihat tanganmu menggenggam secarik kertas, yang kusembunyikan di dalam sepatu kerjamu. Puisiku. Untukmu.
"Kapan Mas buat? Malam tadi, ya? Kenapa aku..."
"Udah baca?"
"Makasih, Mas! Aku..."
Kuusap kepalamu. Sebagai jawaban tangismu. Untukku.
***
Hari ulang tahunku, menjadi ajang pembalasan bagimu. Akupun mengerti, kau ingin aku merasakan yang kau rasakan, seperti di saat ulang tahunmu. Namun, menurutmu selalu berujung kegagalan
Kukira kau pernah menyimpan kecewa di tengah malam buta. Usai mengucapkan doa dan harapmu, kau paksa aku mendengarkan puisi karyamu. Kau menangis malam itu. Aku lebih memilih tak bersuara, tapi memelukmu.
Kau tak tahu, jika kertas yang nyaris kau robek berisi puisi itu, masih kusimpan di dalam map biru. Kusembunyikan di balik ijazah SMA milikmu. Sebagai prasasti, saat kita mengambil ijazah itu, kau dan aku mengikat janji untuk bersatu.Â