Namun "meniadakan" perjuangan orangtua? Jika begitu, sang anak adalah pribadi yang angkuh! Sebab, orangtua adalah pembuka langkah. Ia tinggal melanjutkan langkah itu.
Sama halnya, melakukan kritik kepada pihak sekolah tanpa solusi. Padahal kemampuan mengkritisi itu, ia raih usai bersekolah! Â Ia dididik untuk menghasilkan yang lebih baik dari yang dulu dilalui. Bukan mengacak-acak, kan?
Begitu juga pada figur seseorang. Apapun keadaannya hari ini, apatah berseberangan dengan kondisi sekarang atau tak disukai. Idealnya tak boleh dilupakan jasa dan perannya di masa lalu.
Termasuk alur sejarah bangsa. Seperti tragedi kelam di akhir September tahun 1965. Peran tokoh dan korban bisa saja simpang siur dan mesti terus dikoreksi. Namun, tidak untuk dihakimi! Silakan lakukan aksi dan reaksi, namun jangan melukai.
Hal itu disebut adab pada tradisi. Dan, dalam sebuah tradisi, adab adalah hal yang harusnya diwarisi. Jangan lupa! Kita lalui hari ini, karena peran dan keberadaan orang-orang di masa lalu!
Jika bangsa ini adalah rumah besar, maka generasi yang datang belakangan atau generasi sekarang, memiliki kewajiban moral untuk menjaga keutuhan rumah besar ini, tah?
Terus, jika ada pertanyaan: Kalau orangtua atau para pendahulu melakukan kesalahan, dibiarkan? Harus diluruskan atau direformasi, kan?
Aku sepakat! Namun, mesti dibedakan, mana yang adat dan mana yang adab. Adat bisa saja keliru dimengerti. Namun adab selalu hadir dari nilai-nilai kebaikan dari dalam diri.
Bagaimana? Sepakat?
Curup, 30.09.2020