Tanpa sadar, mereka perlahan melupakan bagian dari keberadaan mereka saat ini. Para Pahlawan dan The Founding Father dengan segala pengorbanan, berbagai situasi dan kondisi saat itu, adalah pembuka langkah pertama.
Dan, masih banyak lagi orang-orang tanpa nyawa dan tanpa nama, membuka langkah kedua, ketiga dan seterusnya. Tanpa mereka, bisa saja tak ada kita pada hari ini. Harusnya, Adab adalah cara untuk menghargai
Bayangkan Tubuh-tubuh ringkih dan menua karena usia di sebuah perkampungan. Dulu mereka pemula, tapi mereka adalah perintis yang "memiliki nyali dan keberanian", membuka dan menciptakan kampung dengan cara mereka.
Begitu juga dengan jalan setapak yang becek dan kotor, rumah-rumah sederhana, warung darurat di pinggir jalan hanya berdinding plastik tebal. Itu adalah awalan. Orang-orang yang hadir belakangan, Belum tentu bernyali melakukan itu.
Tak bernyali karena belum lahir. Tak bernyali karena tidak tahu. Atau tak bernyali dan lebih memilih untuk melihat dan menunggu. Membiarkan orang-orang bekerja, dan tinggal menikmati hasilnya.
Hingga jalur setapak berganti jalanan beraspal, gubuk kumuh dan rumah sederhana bertukar perumahan elit serta modern atau pasar pagi, warung pinggir jalan berubah menjadi bangunan Mall, Minimarket hingga Supermarket.
Maka, hasrat "memiliki dan menguasai" menjadi ajang perlombaan. Merasa tak perlu mengenal para pembuka langkah. Yang terpikir adalah bagaimana menemukan langkah untuk berkuasa dengan berbagai cara.
Menghapus dan melupakan? Jika tak peduli pada asal mula keberadaan, mungkin telah menjadi tradisi sekarang ini? Itu pertanda, adab tak lagi dimiliki.
Seorang anak yang dibesarkan orangtua pada rumah berlantai tanah, berdinding pelupuh dan beratap daun rumbia. Boleh saja merasa berjasa dan lebih terhormat di hadapan orang banyak. Usai membangun ulang rumah tersebut jadi bertingkat untuk orangtuanya.