Maaf! Tak baca tulisan di depan?
Belum separuh perjalanan hari. Tujuh kata maaf kudapati. Kusimpan di kantong depan sebelah kiri kemeja putihku. Sepatuku melangkah pelan melewati barisan mobil tanpa debu.
Tak akan pernah ada yang baru di tempat itu. Kecuali dua lelaki berseragam biru-biru yang menatap beku dari arah pintu.
Gila!
Kata itu telah dua belas jam berada di saku belakang celana hitamku. Sengaja kubiarkan ia mengingat arah, saat aku menyerah kalah.
Kukira, tak ada yang baru di bawah matahari. Termasuk perempuan yang sebelas tahun kujadikan istri.
Sepatuku memilih berhenti di sisi trotoar sebelah kanan jalan. Tepat di bawah jembatan penyeberangan.
Kita ke mana? Aku bertanya saat senja berkuasa.
Tiba-tiba sepasang kaki dan kedua tangan, juga sepasang mata dan kedua telinga merobek kantong kemeja. Meraih paksa kata maaf tanpa berucap maaf.
Kemeja putih pun mengambil satu dan berlalu. Celana menyusul kemeja, meninggalkan isi saku belakangnya. Kata gila.
Kini tersisa dua kata. Maaf. Gila.
Mulut segera menelan kata maaf, tak kuduga dan tanpa aba-aba. Sebelum pergi, meninggalkan pesan suara: "Isilah kepala dengan yang tersisa!"