"Cermin hari kemarin"
Begitu sebutan orang dulu untuk benda itu, sambil memeluk erat orang baru.
Seorang lelaki tua tertawa senang. Betah berlama-lama di pintu gerbang. Namun segera diam, di belakang kepala ada bayangan istrinya yang menghitam.
Aku tak ingin ada orang lain.
Usai berbisik, lelaki tua itu berjalan pelan. Meninggalkan cermin hari kemarin.
Seorang perempuan muda berurai air mata. Berdiri beku putus asa di hadapan sosok berusia senja. Hanya sesaat, wajahnya kembali tenang, mengenang diri pernah jadi pemenang.
Andai tak ada orang lain.
Usai bergumam, perempuan muda itu berjalan sungkan. Enggan meninggalkan cermin hari kemarin.
Sepasang anak muda menginjak pecahan kaca di tanah. Cermin hari kemarin menjadi sasaran amarah. Tak lagi ada tawa, tak pula air mata. Tanpa bayangan, hampa kenangan.
Kemarin, orang lain!
Usai berteriak, sepasang anak muda menjauh dari pintu gerbang. Berfikir ulang mencari arah pulang.
Sejak dulu benda itu terpasang di pintu gerbang. Entah kenapa hanya sekarang, mereka meradang.
Apa lagi tugasku?
Tanyaku pada angin. Hanya paku yang kehilangan cermin. Juga ingin.
Curup, 20.08.2020
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H