"#utangrasa. Selamat jalan, teman!"
Jika mengikuti akun twitter Sujiwo Tedjo, kalimat seperti di atas kerap kali dibaca. Setiap mengetahui kenalan, teman dekat atau kerabat mendahului pergi, Presiden Jancukers itu selalu menggunakan hastag #utangrasa.
Aku tidak dalam kapasitas menjelaskan, alasan penulis buku Dalang Ngetwit itu melakukan hal demikian setiap kali mendengar kabar kematian. Hanya menyajikan, bagaimana sosok multi talenta itu memaknai kata "utang".
Jamak kubaca, judi dan prostitusi adalah perilaku budaya yang masih eksis sejak jaman behaula. Bahkan ada yang bilang, dua perbuatan itu adalah warisan budaya yang telah begitu erat mengakar pada kehidupan manusia. Dan, hanya akan punah ketika tak lagi ada manusia di dunia.
Namun sedikit yang menyinggung, jika utang pun masuk pada deretan itu. Tapi, namanya tenggelam dalam istilah bintang lima. Semisal saham atau obligasi.
Bahkan, pada banyak kasus kehidupan manusia, terkadang ketiga hal itu : Judi, Prostitusi dan Utang, memiliki hubungan saling untung (simbiosis mutualisme).
Aku pribadi acapkali terkejut, jika membaca berita. Ada suami yang menjual istri untuk membayar utang judi. Orang-orang yang tega membunuh atau terbunuh, namun banyak juga kasus bunuh diri akibat atau bersebab utang.
Sila berselancar di mesin pencari, dan tulis saja kalimat "peristiwa tragis akibat utang". Tak sampai setengah detik, ratusan ribu kisah disajikan untuk dibaca. Kisah-kisah itu, benar-benar terjadi dan berulang kali di dunia nyata.
Marah Rusli dalam novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai), pun menyajikan konflik yang rumit sekaligus tragis yang berakhir kematian bagi tokoh-tokoh utamanya. Berawal dari perkara utang. Dibumbui kisah cinta dan bingkai adat Minang di masa penjajahan Belanda.