Kubiarkan anak kelas 5 Sekolah Dasar itu memenuhi inginnya. Sambil membaca berita, kemudian memindahkan hasil bacaannya padaku. Termasuk kabar Marquez cidera. Ponsel dikembalikan, anakku bersiap tidur. Namun, gerak tubuhnya tak tenang! Berguling ke kiri dan kanan.Â
Hingga jelang pergantian hari, dia bangkit dan duduk di dekatku. Memperhatikan aku yang lagi membaca beberapa artikel teman-teman di Kompasiana.
"Gak bisa tidur, Kak?"
"Iya, Yah!"
"Gegara Marquez?"
Mari lupakan kisah kekecewaan anakku. Itu hanya salah satu pijakan dasar, hingga aku sampai pada kesimpulan sementara, bahwasanya manusia Indonesia perlu belajar tidur.
Coba bayangkan. Anakku, yang masih duduk di Sekolah Dasar, hanya mengalami satu kekecewaan. Itupun karena menyaksikan jagoannya tersungkur, dampaknya tak bisa tidur!
Aku jadi membandingkan. Bagaimana dengan orangtua yang sibuk menyusun ulang rencana keuangan keluarga hingga akhir tahun gegara korona. Dengan sebab yang sama, kubayangkan calon pengantin harus berjibaku pikiran, memutuskan untuk melangsungkan atau menunda pernikahan. Mereka pasti sulit tidur!
Begitu juga penjual jamu gendong yang kehilangan pemasukan, karena prioritas pelanggan berpindah untuk membeli kuota. Pedagang gorengan dan penjual cilok yang sepi pembeli, juga tukang sol sepatu hingga pemusik jalanan.
Isi kepala mereka penuh dengan pikiran, pengandaian dan penyesalan, yang mampu mengusir rasa kantuk menjauh pergi. Menimang kenyataan yang harus dihadapi, hari demi hari, tak mengalami perubahan berarti.