"Maaf, ya? La Liga milik Real Madrid tahun ini!"
Ketenangan subuhku "terganggu" dengan  satu pesan melalui WA. Gangguan itu berlanjut, saat kuketemukan pemberitahuan, akun facebook milikku pun ditandai, dengan kalimat yang persis sama. Aih, terkadang, kekalahan memang sumber gangguan bagi ketenangan.
Aku bukanlah fans fanatik suatu klub sepakbola. Berlaku militan, yang mencintai sepenuh jiwa dan raga, sehingga mau melakukan dan merelakan apa saja. Karena posisi menyukai sepakbola sebagai hobi, maka ukuran cintaku pun seperti itu.
Aku memiliki tiga klub berbeda di tiga liga elite eropa. Barcelona di La liga, Liverpool di premier league Inggris serta AC Milan di Seri A. Alasan utamanya, bukan karena mereka klub juara. Namun, lebih sebagai simbol "perlawanan" dari kemapanan. Aku tulis, ya?
Pernah kutulis, awal berkenalan dengan sepakbola adalah tabloid Bola, yang masih menjadi sisipan koran Kompas tahun 80-an. Nah, bicara La liga, Jika aku lebih "memihak" Barcelona. Bukan lantaran kenangan lesatan cannon ball dari tengah lapangan Ronald Koeman ke gawang Sampdoria pada final Piala Champion tahun 1992 yang berakhir 1-0. Namun sejarah "perlawanan" rakyat Catalan melalui olahraga.
Begitu juga ketika aku lebih cenderung pada Liverpool di liga Ingggris yang mendapat julukan "Tim Nyaris". Karena sejak berganti nama menjadi Premier League awal 90-an, didominasi tim The Red Devils asuhan Sir Alex Ferguson, The Gunners-nya Arsene Wenger terakhir The Citizen-nya Pep Guardiola.
Di Italia, aku memilih AC Milan! Ada nama-nama besar seperti Franco Baresi, Paolo Maldini, Demitrio Albertini dan trio Belanda : Marco van Basten, Frank Reijkard dan Ruud Gulit. Kuanggap pemenang pada "pertarungan politik" sepakbola di Italia dari Juventus, serta pengaruh mafia di daerah bagian selatan Italia, asal klub Napoli dengan bintangnya Maradona.
Hematku, pertengahan tahun 90-an hingga awal tahun 2000-an, adalah "tahun penderitaan" bagi ketiga klub itu di liga masing-masing. Kecuali AC Milan yang mengunci Seri-A tahun 1998 melalui tangan dingin Alberto Zacherroni, pelatih yang "diciduk" dari Udinesse musim sebelumnya.
Walaupun pada interval waktu itu, El Barca dan The Pool mampu berbicara di kompetisi Eropa, namun tidak di liga. Curva turun, naik atau melandai menerpa ketiga klub tersebut. Hal itu, memaksaku belajar untuk menghormati raihan klub juara.