Sunyi menjauhi tebaran abu dan tumpukan puntung di piring pengganti asbak. Terburu, melewati empat cangkir beling yang tergeletak acak, menghindari lima botol arak, dan satu pemilik suara serak.
Hamil tua?
Tak sempat sunyi menyapa, saat kepak sayap kunang-kunang tersendat jendela berkaca. Luruh bersama butiran hujan yang letih, terhempas pada secarik kertas lusuh.
Sembilan atau delapan?
Seekor cicak tanpa ekor, bergerak pelan dihela barisan semut hitam. Udara kembali disesaki segerombol aritmetis bisu. Suara pecah mengeja jejak bilangan empat, enam, lima, tujuh atau satu?
Sekarang!
Sunyi melarikan diri. Membiarkan piring menjadi abu, cangkir beling terlontar ke empat penjuru, lima botol arak menerabas bak peluru, menyisakan pemilik suara serak di belakang pintu.
Panggil!
Suruh!
Bawa!
Beli!
Satu tubuh kaku menyimpan nyeri. Satu jari beku terjepit pelatuk tanpa bunyi. Sepi.
Sunyi menutup pintu. Satu titik itu, tak henti mengalir. Mengusik pintaku yang lelah menunggu, "Tuhanku, itu mubazir!"
Curup, 04.07.2020
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H