Aku merasa bersalah. Merasakan diri, seperti komandan upacara bendera hari senin, dengan teriakkan "Kepada Bendera Merah Putih, Hormaaaaaat, graak!" Tetapi aku sendiri tidak melakukan penghormatan, dan tidak peduli peserta upacara hormat atau tidak. karena tugasku begitu!
Akupun merasa bersalah lagi. Mungkin saja aku seperti panglima yang menyusun taktik dan strategi perang, kemudian memberikan sambutan yang membakar semangat pada semua pasukan, bahwa itu adalah pertempuran penting menentukan hidup atau mati. Saat pasukanku berjuang, aku duduk minum kopi sambil menunggu laporan.
Aku masih saja merasa bersalah. Terlambat sadar, seharusnya tak perlu banyak membuat aturan yang memuat kata "harus"  dan "tidak boleh". Ketika tahu, semakin banyak aturan itu kubuat, maka akan semakin banyak pelanggaran yang terjadi. Dan aku jadi bertambah emosi! Padahal aturan itu terkadang kutambahkan sendiri.
Terkadang, aku menyesali dengan jejalan teori-teori yang yang kudapati. Kenapa mesti ada banyak teori, jika tidak dilakukan? Kenapa dulu, aku tidak diajari contoh-contoh saja, agar aku bisa melakukan hal yang diinginkan, tanpa tersendat gerbong teoritis dengan kalimat "seharusnya".
Aku jadi ingat, Ibuku saat aku meminta izin merantau ke Padang Panjang untuk melanjutkan sekolah. Petuah Beliau yang tak tamat Sekolah Rakyat (sekarang SD) padaku yang baru tamat SMP. "Tiga Petuah Ibu" itu, Tahu diri, Ringan tangan dan Jujur.
Beliau tidak memberikan ceramah yang panjang tentang integritas diri. Namun, tiga hal itu, kulihat melekat dalam keseharian ibuku.
Saat mengantarku ke terminal, tak lagi ada pesan atau ucapan. Ketika kuraih tangan ibu untuk bertukar salam, sesaat sebelum menaiki bus. Beliau tersenyum. Walau aku tahu, ibuku menyimpan airmata juga keresahan seorang ibu.
Hal yang sama kualami, saat anak sulungku, mengikuti jejakku. Di usia yang nyaris sama, Baru tamat SMP, merantau ke kota yang sama, tapi tempat pendidikan yang berbeda.
Sebagai seorang ayah. Aku merasa bersalah juga khawatir, jangan-jangan, tak cukup membekali anakku seperti ibuku dulu. Apatah lagi, di Minang, ada ujaran yang berlaku umum, "Laki-laki tu, nan kadipacik keceknyo!". Lelaki itu, yang dipegang adalah kata-katanya.
Terakhir...