Dalam satu pertemuan di ruang kelas. Seorang guru mengajarkan tentang sopan santun. Ketika Guru meminta seorang siswa membersihkan papan tulis tanpa mengucapkan "jika tak keberatan" atau kata "tolong" serta "terima kasih". Maka pertemuan itu, buang-buang waktu saja.
Paragraf di atas, tulisan seorang praktisi parenting, Arlene Silberman. Kukutip dari buku Mendidik Anak (Anton Adiwiyoto, 1993). Buku lama, ya?
Pun, butuh waktu lama aku mengunyah paragraf itu. Aku kembali mengingat dan menghitung ulang, berapa banyak pertemuan yang dianggap buang-buang waktu, gegara berapa kali aku melakukan seperti yang diungkapkan di atas. Sebagai orangtua, teman atau rekan kerja.
Teori-teori yang Terdampar di Ruang Sepi
Sebagai orangtua, tak terhitung kali aku mengajarkan tentang etika dan tata susila kepada anakku. Mesti menghargai dan menghormati orang lain, kalau bicara jangan teriak-teriak, dan selalu menerapkan "tiga kata ajaib" di keluarga. Maaf, Tolong dan Terima kasih.
Namun aku sendiri, sering tak menghargai dan menghormati anakku sendiri, masih suka teriak-teriak, bahkan acapkali lupa mengucapkan maaf, jika telambat mengantar atau menjemput anakku ke sekolah. Hiks...
Sebagai teman, karena kadung merasa dekat dan akrab. Terkadang aku yang sering becanda, terlanjur melampaui "garis batas" etika pertemanan. Yang mungkin tak kulakukan pada orang lain. Dengan alasan, "kan, teman?"
Terkadang, jabatan teman, membuatku "merasa bebas" melakukan apa saja sesuai inginku, karena merasa yakin, temanku pasti akan memaklumi itu. Aih, aku bahkan tak bertanya, apatah dia keberatan dengan hal itu? Hiks lagi...
Aku menjadi ragu! Jejangan aku malah tidak melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan rekan kerjaku. Gawatnya lagi, aku malah mengabaikan apa yang kuucapkan. Aih, paragraph itu mengajakku membuat daftar rasa bersalah. Hiks lagi, dan lagi...