"Penasaran! Gimana rasanya jadi Ayah!"
Pada Hari Ayah Internasional kemarin (Diperingati setiap tangggal 21 Juni). Aku membaca salah satu komentar di linimasa akun facebook-ku. Setelah mengunggah status "Selamat Hari Ayah!"
Terlepas, apatah itu memang penasaran sungguhan, atau sekedar meramaikan komentar. Namun, menyigi pemilik komentar adalah laki-laki yang masih kategori usia remaja. Malah gantian aku yang jadi penasaran, sekaligus berhati-hati membalas komentar. Haha..
Gegara komentar itu, aku malah kepikiran tentang maraknya pernikahan pada usia muda. Contohnya, sila simak berita para pesohor tanah air. Akan ada berita peristiwa perceraian selebriti, padahal pernikahan itu terkadang baru seumur jagung. Hiks...
Miris? Entahlah! Mengkhawatirkan? Pasti! Aku menyadari, jika keputusan menikah adalah ranah pribadi atau privat. Namun, hematku, dampak perceraian itu tak hanya melibatkan pasangan yang bercerai, namun juga penyertaan keluarga besar, tetangga atau teman dekat, kan?
Akhirnya, perceraian itu akan "bersentuhan" dengan area publik, tah? Halah, ngapain membahas pernikahan dan perceraian! Jadi, aku berikan saja jawaban singkat yang kuanggap masuk wilayah aman.
"Rasa jadi Ayah? Belajar dulu menjadi lelaki, terus menjadi suami. Akan tahu rasanya jadi ayah!" Â
Sebelumnya, maafkanlah jika aku membuat tahapan itu. Aku tulis saja, beberapa pengalaman dan pengamatanku, kenapa bisa begitu, ya?
Semasa kecil. Selain nama sebagai identitas diri. Jika jatuh dari sepeda dan terluka tapi tak menangis, dianggap laki-laki. Jika tak diajak teman bermain bola di sawah tapi tak merajuk, dianggap laki-laki. Saat itu, begitu mudahnya syarat menjadi lelaki.