"Tunggu kau punya anak sendiri."
Kukira, dulu ucapan di atas hanyalah alarm yang terlalu dini berbunyi dari saudara-saudaraku. Kalimat itu lahir, karena acapkali aku ajukan "protes" terhadap sikap mereka, yang bagiku terlalu keras bagi dunia anak.
Aku menggunakan kata "seharusnya" kepada saudaraku. Setiap kali membela keponakanku menangis, karena tak mau makan sayuran. Atau berkecil hati gegara nilai rapor yang jelek, bahkan ada yang diusir dari rumah, sebab dimarahi orangtuanya karena bolos sekolah.
Saat itu, aku merasa berkewajiban untuk membela "hak keponakan" yang dirampas paksa. Aku menjadi "truk sampah" sekaligus "perisai" bagi mereka. Hingga, akupun meyakinkan diri menjadi pahlawan kebenaran dengan kalimat "seharusnya".
Setelah memutuskan menikah, kemudian memiliki anak sendiri. Kata "seharusnya" lenyap! Entah ke arah mana perginya.
Tiba-tiba, aku merasa dikejar oleh waktu. Aku merasa 'harus" memberikan perawatan serta perhatian yang lebih pada anakku. Setiap hari, kepalaku terisi dengan rencana-rencana yang harus kuajarkan dan kuingin anakku mengerti.
![ilustrasi anak dan orangtua (sumber gambar : pixabay.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/06/17/father-2342674-640-5eea2d2ed541df2e0e733ca3.jpg?t=o&v=770)
"Tik..tik..tik..Bunyi hu?"
"Daaan!"
"Di atas Gen?"