Memang ada kewajiban menayangkan ulang acara TVRI (sebagai televisi pemerintah), namun stasiun TV Swasta juga memproduksi berita versi masing-masing, tah?
Manusia membutuhkan berita. Ada yang sekadar pemenuhan rasa ingin tahu, atau memang untuk memunjang dan memperlancar pekerjaan serta aktivitas keseharian, tah? Sehingga, "potongan" kue iklannya juga besar.
Tanpa disadari, hal itu membuat semua stasiun TV terlibat perlombaan cara "mengemas berita". Agar menarik perhatian pemirsa dan penayang iklan, dengan sajian berita yang dibuat berbeda. Lahirlah acara semisal Sekilas Info, Info Terkini dan Lintas Peristiwa (Terkadang menjengkelkan, ketika hadir di tengah tayangan sebuah film).
Kemudian kemasan berita, mulai disisipkan dengan tulisan bergerak (running text) di layar bawah TV. Hingga kini, Kemasan berita digabungkan dengan talkshow disertai hiburan musik.
Konsep breaking news atau hot news tak lagi bermakna berita singkat (Straight News). Bahkan durasinya melebihi sebuah tayangan film, plus iklan. Contoh paling gampang, lihat tayangan "arus mudik atau arus balik" saat ramadan dan lebaran di nyaris semua stasiun TV, kan?Â
Karena "persaingan" mengejar kecepatan penayangan, Peristiwa apapun yang "menjual" dikemas menjadi berita. Himpunan cerita dan derita didisain menjadi berita. Kualitas berita tak lagi menjadi prioritas. Terkadang tak peduli, jika esensi berita yang disampaikan berbeda antar stasiun TV.
Akibatnya, semakin berkurang keinginan menanti siaran berita dan menyimak secara dengan seksama. Yang dibutuhkan hanya rasa ingin tahu. Agar "dianggap nyambung" ketika ditanya atau diajak cerita oleh teman-teman di tempat kerja.
Selain itu, dinamika politik tanah air juga "mewarnai" perjalanan dan konsep acara berita. Hadirnya politikus sebagai pemilik stasiun TV, atau mantan penyiar yang menjadi anggota partai politik. Pelan-pelan menghadirkan "kecurigaan" bahwa berita yang disajikan, adalah "pesanan". Apalagi di musim pemilu.
Juga ada anggapan acara berita tak ubahnya acara gosip. Olahan data yang dipaparkan, terkadang tak berujung fakta bagi pemirsa.
Khusus TVRI. Hadirnya stasiun TV Swasta juga "mengikat" beberapa penyiar kawakan dan senior atas nama profesional. Hal ini, mau tak mau menggerus patron TVRI menjadi penguasa arus utama berita di tanah air.
RRI pun mengalami "perang" yang sama. Dengan tumbuhnya stasiun radio swasta. Bahkan ada jaringan berita radio seluruh Indonesia, tah?
Menjamurnya media cetak pasca reformasi, membuat goyah acara berita TV juga radio. Inovasi digital kemudian meramaikan "blantika pemberitaan tanah air", dengan hadirnya media atau portal berita online.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!