Bangunlah! Biasakan bangun pagi. Kalimat itu seperti alarm. Terus berbunyi, sesaat setelah azan subuh. Â Dari orang yang sama, nada suara yang sama, juga warna mukenah yang sama. Ibuku.
Bilang ibuku, bangun pagi saat kabut masih menyembunyikan matahari, adalah gerbang utama bagi pintu rezeki. Jika tidak, maka rezekiku akan direbut oleh ayam yang sudah berkeliaran sejak subuh di halaman.
Aku lebih percaya rezeki dari Tuhan. Juga tak percaya pada kemampuan ayam-ayam milik tetangga bisa merebut rezeki untukku. Namun, untuk menyenangkan hati ibu, aku akan bangkit dari tempat tidur. Kulihat senyuman ibu, sebelum beranjak ke dapur. Dan, aku kembali tidur.
Itu dulu. Belasan tahun lalu.
***
Bangunlah! Sudah hampir pagi. Kalimat itu bukan bernada permintaan seperti ucapan ibuku. Tapi lebih seperti bisikan berbalut rayuan disertai pelukan. Nada itu perlahan menyusup ke liang telingaku. Terjadi setiap pagi, pada dua tahun pertama pernikahanku. Itu pasti suara istriku.
Bilang istriku, bangun pagi itu untuk menutupi rasa malu pada ayah dan ibu. Bagiku, itu adalah ayah dan ibu mertuaku. Jika tidak bangun, maka aku akan diangggap sebagai menantu pemalas. Walau mereka tahu, aku adalah sosok pekerja keras.
Sesungguhnya, aku tak peduli julukan pemalas atau pekerja keras. Tapi, untuk menyenangkan hati istriku, maka aku akan memintanya membuatkan segelas kopi.
Akupun akan menemani istriku ke dapur, berbicara agak keras agar terdengar oleh seisi rumah. Kemudian, kembali masuk ke kamar. Tidur.
Saat itu, istriku akan tersenyum manja, sambil geleng kepala. Setelah matahari menginjak tengah hari, aku akan bangun dan menikmati dingin secangkir kopi.
***