Sebagai orang kampung, salah satu "berkah" pada situasi pandemi covid-19 ini adalah, semakin banyaknya istilah populer  (gak tahu juga, ini istilah baru atau lama) yang  aku dapatkan. Terkadang merasa keren jika menggunaknnya dalam bahasa lisan juga tulisan.Â
Kukira, para Pekamus juga ahli bahasa merasakan "keberkahan" tambahan istilah ini. untuk dimasukkan ke dalam KBBI, PUEBI atau Tesaurus. Berpacu dengan politikus, Sosiolog, Psikolog, Akademisi serta pengamat Parenting. Merefleksikan rumpun keilmuan yang dikuasai untuk memperkaya ruang solusi bersama menghadapi wabah ini.
Belum selesai aku menguyah kata-kata Work from Work, Social Distancing, Physical Distancing atau membedakan lugas tentang akronim PDP, OTG dan ODP. Ada lagi istilah baru yang meluncur dari rahim corona virus, yaitu "The New Normal"!
Aku jadi mengingat metode penulisan kajian sejarah. Mesti memiliki batasan waktu juga tempat (Temporal dan Placeral). Ketika di sekolah dulu, ada pelajaran zaman pra sejarah yang merangkum zaman batu, zaman besi dan zaman perunggu hingga sejarah modern.
Konsep perbandingan itu pun menyentuh ranah keilmuan lain. Biasanya dikenal dengan pemikiran tradisionalisme, modernisme hingga post modernisme. Halah!
Dan, biasanya lagi, juga banyak syarat dan ketentuan yang dikaji oleh para ahli dengan melakukan elaborasi serta kolaborasi untuk menjelaskan perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari konsep tersebut.
Terus, bagaimanakah dengan istilah The New Normal? Apatah melakukan kajian dengan menyusun urutannya Abnormal-Normal-New Normal? Atau Normal-Abnormal-New Normal? Atau temuan baru, hasil dari kolaborasi Normal-Abnormal menjadi The New Normal?
Anggaplah istilah ini untuk situasi dan kondisi bangsa. Coba kita simulasikan ketiga hal tersebut secara kiramologi.
Pertama. Abnormal -- Normal - New Normal.
Dianggap Abnormal adalah jika keadaan sungguh kacau. Semisal marak demontrasi, harga di pasaran tak menentu serta barang-barang menjadi langka, juga interaksi sosial yang sejuk menjadi barang mahal.