Sejak era digital, jamak terjadi  setiap menjelang ramadan atau lebaran. Akan berseliweran berbagai variasi ucapan bernada permintaan maaf.  Apakah lagi di media sosial, tah?
Beragam ucapan bisa berbentuk kalimat bernada puitis hingga lucu, juga ada yang menggunakan dialek bahasa daerah.
Lebih menarik lagi, ucapan itu dikemas dalam beragam meme berlatar simbol-simbol religi. Semisal gambar masjid, menara hingga kubah masjid.
Pada kondisi pandemi corona seperti saat ini. Ketika gerak, ruang dan waktu yag terbatas. Maka ungkapan permintaan maaf, dianggap lebih efektif dan logis melalui pesan-pesan singkat tersebut.
Namun, hal itu tak berlaku bagi anak gadisku. Melalui percakapan pagi tadi, aku sudah dua kali diingatkan dalam satu minggu ini.

"Jadi, Nakdis!"
"Kenapa belum beli agar-agar?"
"Lupa, Nak! Apa lagi?"
"Udah. Telur dan susu masih ada!"
Begitulah. Semua anakku sudah hapal kebiasaanku. Satu atau dua hari sebelum ramadan, akan memasak agar-agar. Kemudian berkeliling mengantarkan agar-agar tersebut ke rumah mertua, saudara atau orang yang dituakan. Silaturahmi sekaligus meminta maaf.
Nah, berkeliling ke rumah mertua, saudara atau orang yang dituakan sebelum Ramadan atau lebaran itu, dalam tradisi Minang disebut dengan "manjalang". Aku tulis sedikit tentang ini, ya?

"Jauh cinto mancinto, dakek jalang manjalang"
Ini adalah ungkapan tetua dulu. Jika tinggal berjauhan maka ungkapan cinta manjadi solusi. Namun jika tinggal berdekatan, maka disarankan untuk manjalang (saling berkunjung).