"Isu Corona lebih mematikan dari virusnya, Bang!"
"Berita dampak negatif lebih dominan!"
"Rakyat diminta tidak panik. Pemimpin sendiri malah panik!"
Ini beberapa kutipan percakapan yang aku ingat, dalam obrolan ringan dengan teman-teman kemarin sore, usai mereka meracik handsanitizer buat dibagikan pada jamaah masjid Aljihad Curup.
Namanya obrolan. Dengan pernyataan dan ungkapan akan melewati jalur bebas hambatan, kan?
Tergantung bagaimana seseorang itu mengolah informasi yang diserap, pemahamanan yang diyakini juga dari aspek mana pernyataan itu berawal. Bisa dari aspek kesehatan, sosial, ekonomi bahkan politik.Â
Aku percaya, mental "pengabaian" dan "ketakutan" itu dua sisi mata uang yang melekat erat dalam budaya Indonesia.
Aku contohkan, ya? Misal, aku ceritakan tentang buasnya seekor harimau. Terkadang, ada yang mengerti. Namun ada juga yang mengabaikan informasi kebuasan harimau. Mereka tak akan percaya. Kalimat sederhananya, "kan, harimaunya gak ada!"
Ketika mereka telah melihat dengan nyata kebuasan harimau yang ada di film-film discovery yang ditonton, atau di kebun binatang. Kesimpulan yang diambil adalah, "harimau memang ada! Di hutan ganas, tapi bisa dijinakkan manusia."
Saat tersebar berita, seperti beberapa waktu lalu. Saat banyak orang yang tewas disebabkan harimau. Mereka masih berkilah dengan kalimat, "salah sendiri! Kenapa pergi ke hutan sendirian?"
Begitulah mental pengabaian yang acapkali kutemui. Nah, berbanding terbalik jika kemudian memang hal itu mereka alami sendiri. Ketika "ancaman" sudah berdiri di halaman depan rumahnya, pengabaian akan menjadi kecemasan dan ketakutan yang berlebihan.