Sejak kegiatan belajar dilaksanakan di rumah. Nyaris setiap hari aku harus meninggalkan ponsel saat pergi bekerja. Sebab, anak-anak lebih membutuhkannya dari pada aku.
Begini, aku termasuk golongan orangtua yang kolot kalau urusan gawai. Kebijakanku, ponsel hanya satu di rumah. Mungkin rada susah dipraktekkan, namun itu sudah berjalan sejak aku mengenal ponsel pintar. Haha...
Pasti butuh aturan, kan? "Kesepakatan" yang terpaksa dituruti oleh anak-anak adalah, pada hari senin hingga jum'at, hanya boleh menggunakan sesuai kebutuhan mereka. Semisal untuk mencari referensi pelajaran atau menghubungi guru dan teman.
Kalau hari sabtu dan minggu, silahkan mereka bermain sepuasnya. Dan, anakku sendiri yang mengatur "jatah waktu" mereka. Syaratnya? Tanpa keributan dan secukupnya kuota. Ahaaay...
Keuntungan dari kebijakan itu adalah, aku bisa melakukan pengawasan melekat terhadap apa yang mereka lihat atau asupan informasi apa yang anak-anakku terima. Mereka juga akhirnya belajar berbagi dan mengatur kebutuhan sendiri terhadap gawai, tah?
Kekurangannya? Acapkali terjadi rebutan. Tak hanya antar anak, tapi aku juga ikut rebutan. Apalagi jika di akhir pekan. Kalau aku menampakkan "kekuasaan" sebagai orangtua, maka anakku akan ajukan kalimat sindiran, "Bilang Ayah, harus komitmen?"
Tuh, kan? Begitu juga dengan kondisi saat ini. Saat konsep belajar jarak jauh membutuhkan gawai. Seperti percakapan pagi tadi, dengan anak lelakiku saat akan berangkat kerja.
"Ayah bawa ponsel?"
"Kenapa, Nak?"
"Kakak belum kirim video hapalan surat Al Alaq!"