April Mop masih lama, kan? Tapi, aku merasakan itu! Satu kejutan, rentetan kisah hingga akhirnya menjadi tulisan ini. Aku bagikan saja, ya?
Kemarin, sesampai di rumah, usai melakukan outbond. Ibuku memberitahu, jika ada paket untukku. Dari peraih 3 Award Kompasianival 2019, Mbak Leya Cattleya. Karena pulangnya malam, dan pesan ibuku, anak gadis yang ingin membukanya. Akhirnya aku nunggu pagi, tah?
Paginya? Anak gadisku, awalnya dengan dahi berkerut kemudian berubah menjadi sumringah wajahnya. Ada tiga jenis isi paketnya. 2 lembar kain tenunan dan 1 roman karya Pramoedya Ananta Toer, berjudul "Gadis Pantai". Suprise!
Saat kuhubungi Mbak Leya via WA (aku terkadang menyapa dengan kata suhu), aku mendapatkan "catatan" kisah sebagai asal usul tentang keberadaan dua helai kain itu, hingga sampai padaku.
Pertama. Kain panjang berwarna dominan ungu, adalah tenunan karya Inaq Nadya dari Sembalun Lombok Timur. Perempuan penyintas gempa Lombok, yang dikenal Mbak Leya, saat membantu mengantar ke rumah sakit untuk proses melahirkan.
Kedua. Kain seukuran selendang seperti Ulos berwarna kuning gading dengan pewarna alami, karya Nine, penenun Pringgasela Selatan Lombok Timur. Mbak Leya terlibat dalam pemberdayaan kelompok tersebut agar mandiri.
Ketiga. Namanya suhu, musti punya pesan tersirat selain tersurat, kan? Buku "Gadis Pantai" karya Pram, adalah kisah kehidupan suram perempuan (jawa) yang berhadapan dengan budaya patriarki dan feodalisme di awal abad 20.
Susah menyigi aktivitas Mbak Leya! Jika melihat kegiatan berkaitan dengan isu perempuan dan kain tenun, linimasa facebook-nya, tersaji festival EMPU (4-9 Januari 2020) di Semarang, fashion show on a train, hingga peragaan busana di atas perahu di Kampung Tambaklorok Semarang.
Dan, pagi tadi, "perang chat" diakhiri dengan satu pertanyaan yang bermakna "pukulan" dan menyempal di kepalaku.
"Di Curup, ada perempuan tenun atau songket, Uda?"