"Mak, kini hari perempuan sedunia!"
"Sekarang Maret! Bukannya april?"
"Itu hari Kartini, Mak!"
Ini pembukaan percakapan pagi dengan ibuku, yang biasa kusapa Amak. Perempuan asli Minang, lahir di Kabupaten Pesisir Selatan (Sumatera Barat). Tak lama, mengalirlah sejarah perjuangan beliau berjuang melewati garis hidup hingga berusia 78 tahun.
Tentang sekolah yang hanya Sekolah Rakyat (SR) dan tak selesai, karena musti menikah muda sebagai "upaya penyelamatan diri" dari tentara Jepang. Tak ada pilihan, kecuali patuh pada orangtua (kakek dan nenekku).
Tentang kisah awal ikut suami merantau ke Curup (Bengkulu), bertani dan berdagang. Sejak tahun 1980, berfungsi sebagai orangtua tunggal sekaligus ibu rumah tangga, musti membesarkan tujuh orang anak.
Sejak SD, aku terlibat dalam proses "bertahan hidup" ala Amak. Berdagang gorengan di rumah. Membuat kerupuk, keripik singkong serta aneka rempeyek udang, kacang atau ikan maco (ikan kecil) yang dititip ke warung-warung sekitar rumah. Â
Yang teristimewa versiku. Amak memiliki keterampilan mengolah apapun bahan makanan yang ada di dapur. Satu jenis bahan, bisa diolah dengan berbagai varian rasa.
Mubazir adalah hal yang tak disukai, apalagi urusan makanan. Jika ada kerak nasi, akan segera dijemur, kemudian digoreng. Atau ditumbuk halus, dicampur gula dan kelapa muda dan dicetak. Aku menyebutnya "kue sangko".
"Jangan mubazir! Apalagi membuang makanan! Kasihan suamimu nanti!"
"Perempuan harus pandai dan berkuasa dapur!"
"Ajari anak-anakmu memasak, cuci piring, membersihkan rumah. Agar tak bikin malu!"
Semua saudara perempuanku, pasti mengingat petuah ini. Dan, Amak tak hanya berteori, tapi mempraktekkan itu, seumur hidupnya. Aku? Sebagai laki-laki juga musti bisa urusan dapur dan pekerjaan rumah tangga. Porsinya malah lebih banyak!
Sebagai single parent, figur Amak terlihat keras dan tegas. Terpaan kehidupan juga, yang membentuk kredo bagaimana seharusnya perempuan versi beliau. Bahwa, pusat kegiatan perempuan itu di dapur. Â