"Guru wajib update pengetahuan!"
"Jadilah guru yang berkarakter!"
"Guru harus bersertifikat! Karena Abad 21... "
"Pada era Revolusi Industri 4.0. Guru harus..."
"Guru adalah Ujung tombak pendidikan, maka..."
Lima narasi di atas, menjadi peluru-peluru tajam tak bertuan bagi seorang guru. Hal itu acapkali keluar dari mulut pejabat tingkat kecamatan hingga pejabat serta tokoh nasional, atau dari mulut para tutor dan instruktur pada kegiatan pelatihan guru.
Akhirnya, guru menjadi sibuk. Berbagai program serta beragam kegiatan dirancang agar guru memiliki kompetensi yang benar-benar menjadi pilar pendidikan, serta sebagai salah satu dari standar pendidikan nasional.
Belum lagi, stigma di masyarakat, guru adalah sosok teladan perilaku juga sopan santun. Guru tidak boleh melakukan kesalahan dan kekeliruan. Bahkan aib dalam secara nasional, jika ada guru yang melakukan tindak amoral, tidak profesional, maka Itu merusak nama baik profesi guru.
Guru musti bisa digugu dan ditiru, sebagaimana diabadikan dalam pepatah, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Dahsyat, kan?
Pada lain sisi, karena harapan besar pendidikan berada di pundak guru. Tanpa sadar, menggerogoti peran utama guru sebagai pengajar dan pendidik. Dari dinamika yang terjadi, malah menambah beban guru.