Menurut kiramologiku, hal ini juga karena di antara kita, masih beranggapan, meminta maaf adalah sebuah tradisi. Sebuah kebiasaan. Sehingga ucapan maaf, malah dianggap seremoni dan angin lalu.
Tradisi saling memaafkan, biasa dilakukan saat menyambut Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, aneka  kata sambutan, permintaan ahli waris saat pelepasan jenazah, atau ucapan pembicara dan pembawa acara saat menutup sebuah diskusi dan ceramah.
Kata maaf berseliweran sebagai ucapan. Kenapa? Karena emang tradisinya begitu. Benarkah permohonan maaf itu, memang lahir dari kesadaran diri yang merekat di hati? Aih, aku gak bisa jawab itu. Â Â Â
Beberapa kajian etika. Menyatakan, memaafkan itu bukan hanya tentang kadar kesalahan yang dilakukan. Terkadang pemberian maaf itu, berhubungan langsung dengan cara meminta maaf. Jadi tak sekedar ucapan, "Maaf, ya?"
Pertama. Mempersiapkan Diri Sebelum Permintaan Maaf.
Meminta maaf, tak sekedar bunyi ucapan yang keluar dari mulut. Tapi juga butuh pemahaman dulu, alasan mengapa melakukan kesalahan itu hingga tahu letak salahnya di mana.
Kemudian menumbuhkan empati pada orang yang tersakiti. Bagaimana jika itu dilakukan pada diri sendiri. Sambil refleksi menyakinkan diri, bahwa meminta maaf berarti kita bukan orang jahat.
Kedua. Cara Meminta Maaf
Jamak dilakukan adalah bertukar salam atau berangkulan diiringi senyuman. Eh, tapi juga ada yang minta diwakilkan melalui surat, pesan sms, atau kartu, tah? Akan berbeda nilai dan maknanya, jika ucapan permintaan maaf itu diucapkan langsung pada orang yang tersakiti. Juga menjelaskan dengan lugas tanpa upaya pembenaran diri, apa alasannya melakukan kesalahan itu.
Sambil membangun empati, serta ajukan upaya dan usaha yang telah dilakukan untuk memperbaiki kesalahan itu. Atau tunjukkan, jika sudah bertekad untuk berubah. Terakhir, meminta penegasan untuk dimaafkan dengan keikhlasan.