Kemarau terlalu banyak melahirkan larik-larik rintihan, memenuhi daftar panjang bibliografi ruang-ruang sunyi perpustakaan. Menjadi bahan rujukan himpunan pinta berwujud doa, berharap awan memanggul benih-benih hujan pengganti airmata.
Matahari telah membunuh pagi!
Mata tua itu melukis sketsa sepi, di pinggir aspal tepi jalan yang lengang. Terasa sia-sia memadamkan perapian mimpi, dan mengusir keangkuhan rembulan segera ke peraduan yang tenang. Menyaksikan butiran hujan berkali mereguk harapan yang ditanam sejak senja kemarin, tanpa ada kemungkinan.
Tuhan! Bisik tertahan, mengiringi jemari tua itu mengusap pelan pucuk-pucuk hijau yang tepercik hujan. Tak henti membujuk keresahan hati mengulang cerita berbilang bulan penantian, untuk mengantarkan seikat sawi, serumpun brokoli dan sejumput seledri ke dalam kantong belanja pelanggan.
Tubuh tua itu memeluk dingin dalam pasrah, melepaskan kehangatan yang tersisa terhadap keinginan untuk menyerah kalah.
Di sudut pasar pagi yang lengang, dan memaku sepi di pinggir aspal tepi jalan yang tenang. Perempuan tua itu menengadah pada langit pagi, menagih janji matahari.
"Tuhan! Hentikanlah hujan."
Curup, 03.12.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H