Hujan mampu menghapus jejak langkah yang berdebu. Namun tak akan mampu menghilangkan perihnya rindu.
Kuletakkan kacamataku di atas meja. Lagi, dan berkali. Kuingat pesan terakhirmu. Membiarkan benakku tenggelam mengeja ulang bayangmu. Tergoda mengejar jarak pandang mataku. Melintasi kegelapan malam yang terhampar di luar jendela. Menembus keramaian rintik hujan, dan menyatu dengan kesunyiaan yang terdampar dalam genangan kenangan. Tentangmu.
***
"Nulis puisi, Mas?"
"Rencananya, cerpen! Malah blank!"
"Ngopi?"
"Boleh! Kalau ikhlas..."
Andini memeluk leherku dari belakang. Hanya sesaat. Kemudian lenyap dari ruang tamu. Kukira ke dapur.
"Mas! Gelas kecil aja, ya?"
"Gulanya habis?"
Tak ada jawaban. Satu gelas kecil, lengkap dengan tadah dan tutupnya, tersaji di atas meja. Â Sambil menatap kertas putih kosong yang terjepit di mesin tik tua di hadapanku. Mata itu kemudian beralih ke wajahku. Segaris senyum dihadiahkan untukku. Tanpa aba-aba, kurasakan jejak yang hangat di keningku. Seperti terhipnotis, reaksiku terlambat!