Jelang maghrib. Sampai di pintu rumah. Kulihat Amak duduk di ruang tamu. Membaca alqur'an. Kuucap salam. Amak berhenti mengaji. Menjawab salam, kemudian menatapku.
"Sudah selesai?"
"Jelang Ashar. Sekaligus bagi hadiah!"
"Banyak peserta tahun ini?"
"Hamdallah."
"Tadi Amak lihat piala berderet di meja!"
"Dari donatur, Mak!"
"Syukurlah!"
"Mandi dulu! Sudah maghrib mau ke Al Jihad lagi!"
"Bilangnya selesai?"
"Tapi Belum kembalikan barang pinjaman. Sekaligus evaluasi panitia!"
"Tenda juga?"
"Besok pagi di bongkar! Biar teman-teman istirahat dulu!"
Selesai kuliah. Pulang dari Padang. Kuajak teman-teman adakan acara sambut ramadhan, berpusat di masjid Al Jihad. Rangkaian lomba selama tiga hari. Belasan tangkai lomba dengan tingkatan peserta dari TK hingga SMA.
Masuki tahun ketiga, antusias dan dukungan berbagai pihak semakin banyak. Kegiatan pun menjadi ajang tahunan pihak sekolah.
Selesai beberes badan. Kuracik segelas kopi. Temui Amak di ruang tamu yang selesai mengaji. Aku duduk di hadapan Amak, sambil menyalakan sebatang rokok.
"Gak makan?"
"Sudah! Di Masjid!"
"Tadi Nunik kesini!"
"Hah?"
"Nunik pamit. Ashar tadi, berangkat ke Muara Aman!"
Hampir seminggu, tak bertemu. Sejak kuantar ke rumah Teteh. Kau pernah berujar. Awal ramadhan akan pulang ke Muara Aman. Tapi aku tak tahu, jika sore itu waktu pulangmu. Hening sesaat di ruang tamu. Kureguk kopiku dalam diam.
"Sebelum ke rumah. Nunik ke Masjid tadi!"
"Lah? Harusnya ketemu!"
"Kau lagi jadi juri!"
Aku kembali diam. Tahun lalu, kau kuminta menjadi juri tangkai lomba peragaan busana. Karena itu bidangmu. Dan kau tak bisa menolakku. Tapi menjadi yang pertama dan terakhir bagimu. Kau tak siap, berhadapan dengan serbuan tanya orang yang ingin tahu. Tentang kau dan aku.
Aku mengerti, kau tak temui aku. Jika memaksa diri, kau akan hadapi banyak mata. Aku tahu persis, cara itu bukan pilihanmu.
"Tapi, hanya dua hari!"
"Libur sekolah cuma segitu, Mak!"
"Bilang Nunik, mau bertemu Ayah!"
"Iya! Nik udah lama gak pulang!"
"Kau pernah bertemu Ayah Nunik?"
Aku terkejut. Setahuku, Amak takkan tanyakan itu. Sejak aku di Padang Panjang. Kuliah di Padang, hingga pulang ke Curup. Amak tahu kegiatanku, dari saudara atau temanku. Tak pernah bertanya langsung. Aku pun tak terbiasa, bercerita pada Amak. Apatah lagi tentangmu.
Amak menatapku. Diam menunggu. Kusandarkan tubuh di kursi tamu. Berfikir memilah kata. Kuhirup asap rokok. Kuhempas pelan. Perlahan kutatap Amak.
"Belum!"
"Ibunya?"
"Mamak!"
"Iya! Mamak Nunik? Sudah pernah..."
"Belum!"
"Jadi selama ini..."
"Iya!"
"Makanya Nunik yang ke rumah?"
"Iya..."
"Kenapa begitu? Sampai kapan?"
Aku terdiam. Suara adzan terdengar dari masjid. Amak bangkit dari duduk. Aku tengadah menatap wajah Amak yang memandangku.
"Jangan sering tangisi Nunik!"
"Hah?"
"Datang kemarin. Nunik nangis, kan?"
"Tapi..."
"Jangan pernah sakiti perempuan!"
Senja itu, aku mengingatmu. Juga kalimat Amak. Dua larangan dalam satu waktu. Padaku. Dan untukmu.
Â
get married | those three words | just the way I am | meeting you was fate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H