Apakah secepat itu? Padahal baru menginjak usia 11 tahun? Aku mulai merasa ada sedikit ganjalan, atau mungkin cemburu? Gadisku antusias bercerita, menerima dan membuka kado dari teman sekelasnya. Tapi menolak semua tawaranku.
"Ayah minum teh atau kopi?"
"Teh aja, Nak!"
Aih, aku tersenyum. Gadis kecil itu, ternyata masih milikku. Aku menyakinkan diri. Bahwa yang kualami hanya perasaan seorang ayah yang egois. Terlalu banyak prasangka. Hingga Uni Tya mengajukan segelas teh hangat di hadapku.
"Minum, Yah?"
"Makasih, Cantik!"
Aku lagi membaca beberapa postingan Kompasianer. Termasuk berita perginya Kompasianer senior Pak Thamrin Sonata. Hingga tak lagi melihat gadisku beranjak dari hadapku.
Tak lama, saat ingin menjangkau gelas. Mataku terhenti pada gulungan kertas buku tulis di samping gelas berisi teh hangat. Bersampul kertas buku tulis yang dilipat seperti amplop. Diberi lakban kertas dengan tulisan gadisku.
Kukira, semua akan tahu perasaanku. Perlahan kubuka amplop darurat itu. Di dalamnya, ada gulungan kertas yang diberi pita. Itu adalah sepucuk surat untukku.
Ditulis seperti larik-larik puisi. Sejak kelas 3 SD, gadisku sudah mulai menulis diary termasuk puisi. Â Aih, aku tak bisa menuliskan disini isinya. Namun, hari ini aku ingin membenarkan ucapan orang-orang.
"Cinta pertama perempuan itu, untuk Ayahnya."
Dan, kalimat itu ada di dalam lirik tulisan gadisku. Tak usah tanya, apa yang kulakukan selesai membaca surat itu. Aku tak mungkin memaksa diri untuk memeluk gadis kecilku. Aku tak mau mendapat penolakan lagi.