ketika kopi meracik pagi dalam genggaman sunyi, maka aura kopi menjadi rahim lahirnya ribuan larik puisi. dan, kau masih bertanya, mengapa harus ada kopi?
ketika mentari marajai siang nan panjang, di antara keluh dan peluh, di antara resah dan susah, di antara riuh dan gemuruh garis takdir. maka, bait-bait puisi dalam seloki kopi kembali hadir. kau tak henti bertanya, haruskah hadir mentari?
ketika senja sebentar singgah ucapkan salam perkenalan, sebagai puncak segala adaptasi kehidupan bumi. maka baris-baris puisi ikut menemani secangkir kopi. kau masih saja bertanya, tak adakah selain senja dalam puisi?
ketika malam meramu kegelapan, mengajak jiwa menikmati kesunyian diri. dan kembali meracik segelas kopi, adalah penyelamatan sepi. maka tertulis uraian aksara-aksara berbentuk puisi. kau pun bertanya, sampai kapan malam harus ada dalam puisi?
saat fajar mengurung semesta. ketika paduan rasa menyatu dalam sukma. maka kopi, pagi, mentari, senja hingga gelap malam, hanya cara ungkapkan rasa. yang takkan pernah bisa utuh diwakilkan aksara.
terkadang kopi dan puisi miliki hubungan rasa, dengan atau tanpa logika.
Curup, 22.07.2019
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H