Pukul sembilan lewat. Kau dan aku, sejak tadi selesai sarapan. Kunikmati rokokku. Kau ajukan skripsi padaku.
"Mau dibaca lagi?"
"Tolong masukkan ke dalam tas, ya?"
Tak lagi bicara. Kau ikuti ucapanku. Kemudian tersenyum, memandangku. Aku diam. Menatap wajahmu. Aku tahu. Hanya satu dari beberapa titik yang harus kulalui. Agar bisa berwujud garis. Selintas, lalulalang ingatanku tentang liku alurku. Hingga sampai ke titik hari itu.
Tetiba, suasana kantin terasa aneh. Sedikit hening. Terdengar suara berbisik. Naluriku tersentak. Bunyi tapak sepatu mendekat. Semakin keras, dan berhenti di belakangku. Bahuku disentuh pelan. Aku terkejut. Menoleh ke belakang. Pak Il! Pembimbing skripsiku, aku segera berdiri. Kau ikuti.
Pak Il tersenyum, menerima jabat tanganmu. Tidak padaku. Tidak juga teman seangkatan yang berkerumun. Melingkar di sudut biru. Pak Il menatapku.
"Sudah siap?"
"Insyaallah."
"Siap atau tidak?"
"Sudah!"
"Malam tadi dibaca?"
"Gak!"
"Pacaran?"
"Iya!"
"Bagus itu! Penyegaran!"
"Haha..."
"Ingat! Standar Bapak A!"
"Hah?"
"Sudah dengar, kan?"
"Iya..."
"Kalau tak sanggup, mundur!"
Sekilas. Pak Il menatap mataku. Aku tersenyum. Kerumunan tak lagi melingkar. Beri ruang dan jalan, untuk salah satu dosen senior. Berjuluk "killerman". Mantan komandan menwa. Yang segera tinggalkan kantin.
Gelegar suara Pak Il, tak gambarkan isi hati. Aku tahu. Percakapan itu bukan ditujukan padaku. Tiga hari lalu, dua jam aku diajak bicara. Tak semenit pun membahas skripsiku. Pak Il cerita tentang jejak langkahnya dulu.
Wajahmu tegang. Saat itu, kantin benar-benar kaku. Teman seangkatan terdiam. Sambil tersenyum, kutiru gaya Pak Il.
"Jangan dipikirkan! Mari berdo'a, menurut hafalan do'a masing-masing! Untuk masing-masing!"
"Haha..."
"Kembali duduk! Jangan ganggu orang pacaran!"
Kantin kembali riuh. Aku terima beberapa pukulan di bahu. Kerumunan bubar. Kembali ke suasana semula. Aku segera duduk. Kau duduk di sebelahku. Aku tersenyum menatapmu.
"Kenapa?"
"Maafkan Nunik, Mas!"
"Lah? Dua kali?"
"Gegara sore kemaren Nik datang! Mas tak bisa..."
"Pak Il setuju, kan?"
"Tapi. Tadi Mas..."
"Tujuan Pak Il bukan Mas! Tadi Mas dijadikan papan pantul!"
"Hah?"
"Selesai ujian. Mas jelaskan!"
Kuacak kepalamu. Ada kerutan di dahimu, tapi kau memilih diam. Kureguk sisa kopiku. Kembali menyalakan sebatang rokok. Dari pintu masuk kantin, kudengar suara Ni Yul panggil namaku. Minta bersiap. Kuajukan jempolku. Rokok kumatikan. Aku menatapmu.
"Mas susun buku di ruangan dulu, ya?"
"Nik..."
"Tunggu disini, mau? Cuma sebentar! Mas balik lagi!"
Tak menunggu. Aku segera berbalik. Tiga teman membantuku, masuki ruang sidang membawa dua tas berisi buku referensi. Karena ujian bersifat terbuka, siapapun boleh hadir. Kulihat kursi sebagian sudah terisi. Kutuju meja besar beralas kain warna hijau di tengah ruangan. Di sisi kiri dan kanannya tersedia meja kecil, khusus untuk buku. Tiga temanku, bergantian keluarkan buku. Kususun berdasarkan bab skripsiku.
Tak lama. Aku keluar ruang sidang. Berpapasan dengan Ni Yul. Ingatkan aku, waktu tersisa sepuluh menit. Kalau dipanggil baru masuki ruangan. Kuanggukkan kepala.
Saat menuju kantin, kulihat lima calon penguji sudah masuki ruangan sidang. Aku menuju sudut biru. Sudah ada Pipinx dan Ajo. Keduanya menatapku. Aku tersenyum, tapi tak kulihat dirimu. Pipinx ajukan sebatang rokok padaku. Aku tertawa.
"Belum telat kan, Mpuanx?"
"kurang dari sepuluh lagi. Mana Nunik?"
"Ke toilet!"
"Oh!"
"Stabil, kan?"
"Aman!"
"Haha..."
"Tapi, dapat Tim penguji parah!"
"Jadi?"
"Sesuai niat awal! Hajar!"
"Haha..."
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough #BorntoFight #ThereisaWay #SpeakYourMind #UnforgettableMoment
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H