Kaki langit merah jingga. Mentari senja enggan sembunyi. Membentuk mozaik berwarna di batas jarak pandang. Angin tak lagi mengganggu jilbabmu. Seperti yang lain, kau duduk di sebelahku. Pada susunan batu batu besar pemecah ombak. Memandang ke laut lepas. Pantai Padang.
Sejak tadi, kau tak bicara. Kubiarkan. Tak kuusik. Tapi tidak kali ini, diammu sudah lewati setengah jam. Kutatap wajahmu.
"Nik?"
"Hah!"
"Ada apa?"
"Eh!"
"Kenapa diam?"
Aku berpindah. Duduk di hadapmu. Kau palingkan wajahmu. Tak butuh waktu lama. Aku jadi tahu. Entah sejak kapan, beningmu tak lagi bisa kau cegah. Tapi aku belum tahu sebab beningmu hadir senja itu. Kau raih ujung jilbabmu. Kau usap mata airmatamu. Kuhembuskan asap rokokku.
Kunikmati prosesi alam. Mentari bersisa setengah. Sinarnya membentuk lajur membelah laut. Debur ombak menyapu bebatuan. Kau betah dalam diammu. Takkan kutanya. Kubiarkan. Perlahan, kau alihkan wajahmu padaku.
"Maafkan Nunik, Mas!"