Sore itu tak lagi cerah. Ada mendung. Tapi aku tahu inginmu. Lunasi dua minggumu tanpaku. Aku masih berdiri, kau tersenyum. Aku menatapku.
"Pergi sekarang?"
"Sebentar!"
Kau kosongkan meja. Meraih gelas juga asbak. Lenyap lalui pintu. Kudengar suara-suara usil teman kostmu dan kembali temuiku. Wajahmu memerah. Kau berdiri disisiku.
"Hayuk!"
"Ga bawa jaket?"
"Hah?"
"Langitnya mendung!"
"Tapi..."
Aku diam. Kau menatapku. Tak bersuara, kau berbalik. Kembali ke dalam rumah. Keluar lagi, tanganmu sudah memegang payung kecil berwarna hitam. Aku tersenyum melangkah ke pagar. Kau di sampingku, Moler di belakangku. Tapi Moler berdiri di balik pagar. Goyangkan ekornya, saat kututup pagar.
"Nik!"
"Eh?"
"Gak pamit ke Moler? Dia menunggu!"
"Haha..."
"Ya udah. Aku aja!"
"Iya."
"Moler, Pergiii...!"
"Haha...! Pamit, kok gitu?"
Terkejut, Moler berlari ke arah beranda. Kau masih tertawa, saat kuhentikan angkot putih. Kau dan aku duduk bersisian. Tak banyak penumpang. Ada dua perempuan, tidak seusia denganmu. Kau terkejut dan tertawa pada keduanya. Aku jadi tahu. Teman satu kostmu saat di gang Gurami.
Aku diam. Tahu diri. Ketika tiga perempuan nyaris sebaya, rebutan cerita. Sesekali, kudengar godaan dua temanmu. Wajahmu tak mampu kau sembunyikan. Memerah, serba salah. Aku hanya tersenyum. Sebelum Pasar Ulak Karang, satu temanmu meminta angkot berhenti. Kemudian melihat padaku. Tak ada senyuman.
"Jangan suruh Nunik nunggu lagi, ya?"
"Hah?"
"Jangan biarkan Nunik nangis!"
"Eh!"
"Jaga Nunik! Cuma ada kamu!"
Angkot berhenti, temanmu turun. Kau tersenyum. Temanmu tersenyum. Aku tidak. Angkot begerak lagi. Hening. Aku menatapmu. Kau tundukkan wajahmu. Kuikuti gerak wajahmu, dalam diam. Kau tahu, aku memandangmu. Tiba-tiba, kau alihkan matamu ke wajahku. Kau menahan senyummu, tapi tidak dua jarimu. Mendarat bebas di pinggang kananku. Perih.
"Teman satu jurusan?"
"Beda. Keduanya IPS. Kakak tingkat!"
"Udah tahu! Wajahnya yang cerita padaku."
"Haha..."
"Nunik suka bikin pengumuman di kosan?"
"Hah? Pengumuman?"
"Iya, kan?"
"Gak pernah!"
"Itu! Keduanya tahu tentangmu?"
"Iiih...!"
Dahsyat! Dua jari dari dua tanganmu. Sukses lagi. Bersekutu lagi. Di pinggangku lagi. Tak lagi bisa kuhindari, terpaksa kunikmati. Aku tak tahu rasamu saat itu. Kukira empat jarimu mewakili itu.
"Yang bicara tadi. Teman curhatku!"
"Oh!"
"Teman pertama Nunik di Padang!"
"Pantas!"
"Kenapa?"
"Tapi janji, gak bilang sama temanmu?"
"Apa?"
"Tadi, waktu dia bicara padaku. Aku merasa diceramahi moler!"
Plok! Payungmu sudah diayunkan ke kakiku. Kau alihkan wajahmu keluar kaca jendela. Berusaha menahan tawamu. Aku meringis. Kuambil satu sandalku, kuajukan padamu.
"Sama ini, belum?"
Kau abaikan tanganku. Kau tertawa semakin keras. Tapi segera sadar. Kau tutupi mulutmu dengan tanganmu. Kuacak kepalamu. Kau sibuk rapikan jilbabmu.
"Mau kemana?"
"Berhenti di Pasar Raya, ya? Blok A. Sekalian Nik mau beli bahan jahitan!"
"Hampir jam lima! Bukannya, toko sudah tutup?"
"Oh!"
"Jadi?"
"Ke pantai? Mau?"
"Lah?"
"Nunik, udah lama gak lihat pantai!"
"Kan, mau hujan?"
"Nik, bawa payung!"
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter
Note : Mulai senin, NIK | "Born to Fight" [1]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H