Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Lompati Pagar Diri? Ayo Berpikir Liar, Tidak Bersikap Liar!

27 Maret 2019   12:21 Diperbarui: 27 Maret 2019   13:12 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by; pixabay.com

"Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri" Pramoedya Ananta Toer

Acapkali ditemui. Beberapa pribadi yang membuat garis teritorial diri. Yang menjadi batas kemampuan pribadi tersebut. Aku sepakat, jika itu tentang sikap dan prilaku. Karena batasan itu dibutuhkan dan memang perlu!

Tapi, jika batasan itu tentang cara berfikir, mengeksplorasi ide atau mencoba melakukan hal baru? Kenapa tidak? Kenapa berhenti di zonasi nyaman. Dan sepakati bahwa batas kemampuan hanya di titik itu?

Judul ini. Tak mengajak untuk berlaku negatif. Semisal loncati pagar bersebab ingin bolos sekolah. Atau lakukan loncat pagar, gegara larangan dari pemilik pagar! Judul ini kupilih sebagai pijakan dalam mengulik ulang batasan/pagar diri.

Illustrated by ; pixabay.com
Illustrated by ; pixabay.com
5 Tahapan Lompati Pagar Meraih Kebebasan Diri!

Seorang teman pernah bicara padaku: "Hanya bisa membaca. Tapi tak bisa menulis!". Kalimat "tak bisa" ini adalah pagar yang dibuat. Dan aku merasa bersalah, jika melakukan pembiaran! Kebiasaanku adalah, mengajak dan menghajar temanku untuk menulis. Setidaknya tentang apa yang sudah dibaca.

Kugunakan rumus sederhana: "Pada awalnya, semua orang tak akan jadi penulis jika tak memulai menulis!" Iya, Kan? Berpijak dari rumus itu, dalam kiramologiku, ada 5 tahapan untuk lompati pagar diri!

Pertama, Dipaksa. Ini proses rada sadis. Terkadang berbonus tangis. Kukira banyak yang pernah kita alami, awalnya adalah karena dipaksa, kan? aku waktu kelas satu SD pernah disuruh berdiri kedepan. Karena tak hapal Abjad. Kelas tiga SD, diperintahkan membersihkan WC sekolah. Karena tak menguasai perkalian satu sampai lima. Gak berani melawan, karena yang dihadapi guru yang musti dihormati. Dan sadar, kalau pelajaran itu "perlu untuk diketahui dan dikuasai". Jadi? Tak ada pilihan, kan? Harus dilalui dan dinikmati.

Kedua, Terpaksa. Jika dipaksa, dorongan yang berasal dari luar diri, maka terpaksa adalah kondisi pasrah dari dalam diri. Biasanya cenderung pasif bahkan apatis. Pasif dan apatis itu, penyakit yang mengerikan. Aku ilustrasikan, untuk mengetahui orang itu bisa berenang atau tidak. Lemparkan saja ke kolam renang! Jika yang bersangkutan tenggelam, artinya gak bisa berenang. Jahat? Bisa jadi iya. Tapi orang itu, jadi tahu "manfaat" jika bisa berenang. Minimal tak akan tenggelam. Haha...

Illustrated by : pixabay.com
Illustrated by : pixabay.com
Ketiga, Bisa. Tahapan ini, sesudah melalui fase dipaksa. Agar tahu dan mengenal. Serta fase terpaksa, agar mengerti manfaat. Bisa atau mampu melakukan sesuatu, pasti butuh waktu. Yang bermakna "konsistensi". Batu yang keras pun, akan berlubang jika terus menerus ditimpuk tetesan air hujan, kan? bahasa kerennya. Where there is a will, there is a way! Ahaay..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun