"Bersatu Kita Kukuh, Bercerai Kita Utuh?"
Maafkanlah, quote itu kutulis berbasis rumpun ilmu kelirumologi. Hal ini gegara suhu politik yang kental aroma perebutan kekuasaan daripada merumuskan kebijakan. Sehingga menggerus walau tak sampai menafikan aspek-aspek kehidupan lain yang tak kalah penting dibandingkan politik.
Kritik ahli fenomenologi, Edmund Husserl terhadap dunia modern yang menekankan pada dunia yang objektif, serba formalistik, materialistik, dan mekanik sebagai penyebab kehancuran nilai kemanusian di zaman sekarang. Kenapa begitu?
Realitasnya, dalam era informasi tidak ada dominasi kekuasaan baik partai politik maupun kroni-kroninya, apalagi personal yang dapat mendominasi negara secara utuh, kekuasaan terbagi dan tersebar di mana-mana. Tidak ada format dialektika yang dapat merajut tujuan bersama. Kritik, intrik, dan berita hoax. Bak jamur di musim hujan, banyak dan membingungkan. Iya, kan?
Menurut kiramologiku, dibutuhkan "kekuatan dominan" agar kembali ada normalisasi kehidupan partai politik. Khususnya dalam ranah informasi dan interaksi sosial. Pasca-Pemilu 2019, pemikiran tentang "fusi" (peleburan) partai politik, boleh jadi memungkinkan dan dikaji ulang.
Usai pemilu tahun 1971 yang diikuti 9 partai politik dan 1 ormas. Traumatik pada ideologi berbeda yang diusung partai dan peristiwa 30 september 1965, penguasa Orde Baru membuat kebijakan penyederhanaan partai politik. Beberapa alasan yang diulas sejarawan plus pengamat politik, antara lain:
- Ideologi yang berbeda dari setiap partai politik rawan memicu konflik yang bisa membahayakan keutuhan bangsa dan negara.
- Agar partai politik tak berorientasi ideologi, tapi tawaran program.
- Perbaikan sistem kepartaian sebagai "kendaraan" yang menampung dan mewujudkan aspirasi bersama atas nama rakyat.
Alasan-alasan ini, tentu akan menghadirkan perdebatan dengan aneka rujukan dan tujuan. Terlepas dari dinamika politik saat itu. Faktanya, pada Pemilu 1977 hingga Pemilu 1997 peserta bersisa 3. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan karya (Golkar).
Era Reformasi, menjadi "gerbang tol" bagi ranah politik di Indonesia. Beberapa "kematian sunyi", tetiba hidup kembali. Bak musim hujan, dalam masa dua dasawarsa. Dalam skala nasional, Partai politik kembali unjuk gigi. Pemilu 1999 (48 Parpol), pemilu 2004 (24 parpol), pemilu 2009 (38 parpol), Pemilu 2014 (12 Parpol), dan Pemilu 2019 (16 Parpol).
Fluktuatif jumlah partai peserta Pemilu, bisa saja terjadi karena alasan "berbeda atau ada kesamaan" ideologis, program juga kepentingan. Atau terhenti oleh aturan legal formal yang berlaku sebagai "aturan degradasi" parpol di setiap pemilu yaitu electoral threshold.
Dengan  angka 4% di Pemilu 2019, fusi partai kemungkinan besar bakal terjadi, dengan berbagai alasan yang dicari atau diam-diam undur diri, bahkan mati. Gak percaya? Coba saja menyigi keberadaan dan nasib parpol sejak Pemilu 1999 hingga kini, kan?