Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Terkadang Penumpang Bus Hanya Berucap "Aku Kudu Piye?"

5 Maret 2019   11:11 Diperbarui: 11 Maret 2019   17:52 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Titik Pemberhentian, penumpang terkadang dianggap turis lokal (Sumber: otolibs.com)

Terus aku kudu piye? Dalam tataran ideal, kalo membeli barang, dengan harga sama. Tentu barangnya harus memiliki kualitas yang sama, kan? Lah, kalau bicara transaksi jasa? Aih, sudahlah! sebagai penumpang, bisa apa? yang penting sampai tujuan, kan?

Ilustrasi. Titik Pemberhentian, penumpang terkadang dianggap turis lokal (Sumber: otolibs.com)
Ilustrasi. Titik Pemberhentian, penumpang terkadang dianggap turis lokal (Sumber: otolibs.com)
Penumpang Bus Itu, Wisatawan Lokal Dadakan!

Kenapa begitu? Kukira semua pernah alami. Pemilik perusahaan, biasanya sudah menetapkan titik pemberhentian, agar awak bus juga penumpang bisa Istirahat dari penat di dalam Bus, melakukan sholat, untuk makan dan minum. Tentu saja menikmati asap rokok bagi yang merokok, kan?

Akibat "deal" tempat pemberhentian itu. Akan ada hubungan simbiosis mutualisme, kan? Terkadang aku curiga, apapun yang dinikmati oleh Awak bus, "dititipkan" kepada penumpang. Semoga Itu, hanya berdasarkan ilmu kira-kira yang kumiliki. Haha..

Bayangkan, segelas kopi biasa. Kalau normalnya segelas paling mahal Rp. 5.000,- bisa menjadi Rp. 8.000,-. Semangkuk Mie rebus dihargai Rp. 15. 000. Coba saja makan dengan cara dihidangkan berbagai jenis lauk-pauk memenuhi meja. Dan kita makan dengan telur dadar di campur sedikit kuah ayam. Maka diakhir, bisa saja kita menerima nota makan Rp. 50. 000!

Konsep Itu juga berlaku, untuk pedagang di sekitar rumah makan. Jangan kaget! Karena kita sudah dianggap turis lokal, dengan banyak uang dan layak membayar mahal. Kok bisa? Karena "mental" yang sudah terasah sejak dulu! Kapan lagi menarik keuntungan dari wajah-wajah baru, kan?

Tak usah berharap penjual atau pemilik rumah makan, akan berfikir sajikan yang terbaik agar pembeli kembali! yang ada, adalah kalau tidak sekarang, kapan lagi? Siapa tahu, pelanggan datang hanya sekali! Ahaaay..

Makanya, ada juga beberapa penumpang yang membekali diri dari rumah, sebagai antisipasi agar tak alami hal seperti ini, kan? Sekali lagi, penumpang akan bilang aku kudu piye? Haha..

Pilihan terbaik bagi penumpang sepertiku, adalah menganggap itu sebagai "resiko" perjalanan, kan? Ya udah, sing penting sampai ke tempat tujuan.

Kukira, hal ini juga dialami walau tak persis sama, moda transportasi lainnya, kan? Ingin berharap lebih, agar hak-hak penumpang diindahkan karena sudah membayar tiket sebagai kewajiban. Peluru itu, dihadapkan pada siapa? Jadi, ya gitu..

Curup, 05.03.2019
zaldychan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun