Bencana  alam gempa bumi berkekuatan 4,8 SR kemudian pemutakhiran 5, 3 SR yang terjadi di Kabupaten Solok Selatan (Kamis, 28-2.2019), akibatkan 398 Rumah rusak, dan 58 orang terluka (Padang Ekspres/Jum'at, 01.3.2019). Belum termasuk kerusakan fasilitas umum. Belum ada data korban jiwa. Semoga tidak.
Dari data PNBP di akhir Oktober 2018, sepanjang tahun 2018, terjadi 1,999 Bencana, dengan 3.548 Korban jiwa, 13.122 korban luka, 3,06 juta mengungsi kehilangan rumah tinggal diakibatkan bencana (kompas.com/ Kamis, 25.10.2018). Angka itu, terus bertambah, jika dimasukkan dua bulan terakhir 2018 dan dua bulan awal 2019. Seperti Gempa Bumi di Kabupaten Solok Selatan.
Apa yang dirasakan atau terpikirkan saat tahu dan membaca rilis berita seperti itu? Kukira, akan ada aneka tanggapan dan jawaban, kan? Aku pun yakin, para pembaca serta semua unsur terkait, sudah dan pernah melakukan yang terbaik agar fenomena yang menyedihkan itu, tak terulang, kan? Â Karena, tak sesiapapun mampu menebak kapan bencana itu akan hadir!
Tulisan ini, tak hendak mengajak pembaca bicara tentang "Apa dan Mengapa" Bencana Alam itu. Tapi "Bagaimana" mengajak mengurangi dampak atau resiko Bencana akibat dari Gejala alam itu yang biasa dibunyikan sebagai Mitigasi Bencana melalui Pengetahuan dan Pendidikan Bencana
Hematku, Kearifan lokal dalam menghadapi bencana menjadi hal penting. "Pengetahuan" turun temurun yang secara tidak sadar mampu "mengurangi bahkan menyelamatkan" nyawa dan harta benda. Bisa menjadi alternatif pilihan mitigasi bencana tanpa biaya.
Semisal  tradisi  tutur berbentuk sajak yang dikenal dengan istilah "Smong" di Pulau Simelue, menyelamatkan ratusan nyawa saat terjadi tsunami Aceh tahun 2004. sajak berisikan tanda-tanda jika akan terjadi gempa. Biasa ditampilkan dalam bentuk nyanyian. Secara tak langsung, menjadi sistim peringatan dini (early warning system), bagi masyarakat.
Ada juga, tradisi membangun "rumah panggung". Itu adalah kearifan lokal. Rumah tanpa paku, hanya menggunakan pasak dan ikatan tali. Membuat rumah "lentur" saat dilanda gempa. Hal ini, juga bisa ditemui dari pikukuh atau aturan Suku Baduy tentang larangan membangun rumah langsung menyentuh tanah. yang sekarang berganti tapak besi dan dinding batubata atau batako.
Atau memperhatikan prilaku "aneh" dari hewan peliharaan. lagu Teteu Amosias Loga. Nyanyian anak-anak pulau Mentawai itu bercerita, jika terjadi gempa, tupai akan menjerit. nyanyian yang memberikan pengetahuan alam.Â
Menyigi Kembali "Kesadaran Mandiri" Tata kelola dan Tata Guna Lahan.
Beberapa kasus "kusut liar" dari tata kelola dan tata guna, juga berdampak signifikan terhadap laju pengurangan resiko bencana. Semisal sungai dan wilayah kawasan bantaran sungai.