Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Akankah Bahasa Ibu Tergerus Waktu?

21 Februari 2019   12:54 Diperbarui: 21 Februari 2019   20:03 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
britishdeafnews.co.uk

Maka budaya tutur anak desa berganti menjadi bahasa gaul anak kota. Biar terdengar keren? Bisa jadi! Ahaaay..

Ternyata Lagi, Sulit Mengubah Bahasa Lisan Menjadi Tulisan. 

Kukira, jamak di alami hampir semua bahasa daerah. Saat berkomunikasi secara pribadi melalui SMS atau Chat, menemukan kesulitan. Untuk membahasakan "ujaran lisan" menjadi bahasa tulisan. Yang tak selugas jika berkomunikasi langsung. Bahasa tulis ujaran lisan berhadapan dengan keterbatasan huruf dan simbol. Yang juga mempengaruhi bunyi.

Sialnya, terkadang mempengaruhi arti. Sehingga, lebih nyaman jika memilih berkomunikasi tulisan dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa melayu yang jamak difahami oleh lawan bicara.

Jadi, selain infiltrasi budaya, adanya pembiasaan atau kebiasaan dalam hal komunikasi. Pelan-pelan menggerus penguasaan bahasa daerah yang bisa jadi Bahasa Ibu. Tak lagi kudengar gerombolan anak-anak "seenaknya" berbincang dengan bahasa Rejang, bahasa Sunda dan Jawa anatar mereka.

Akhir tahun kemarin, ketika berkunjung lagi ke Ketenong. Anak-anak tak lagi berbincang dengan tiga bahasa seperti saat pertama kali berkunjung. Tapi aku disapa menggunakan bahasa melayu atau bahasa Indonesia berbau "bahasa kota". Kukira bersumber dari tayangan televisi. Asal tuduh, Ya? Haha...

Akankah Bahasa Ibu Tergerus Waktu?

Berpijak dari pengalaman pribadiku, pertanyaan itu sengaja terlontar. Banyak kutemui, di setiap keluarga, tak lagi menggunakan bahasa Ibu orang tuanya. Apatah lagi, jika pernikahan antar etnis. Sehingga "pilihan adil" jika bahasa ibu (daerah) ditinggalkan. Ranah akademik, sebagai kawah candradimuka pendidikan termasuk berbahasa hanya menyediakan kurikulum muatan lokal (Mulok) itupun diserahkan kepada kebijakan disetiap sekolah. Mau memasukkan "Ke-khas-an Lokal" apa? Ditambah lagi dengan anggapan jika menggunakan bahasa tradisi, acap kali disematkan "ndeso". Sedih, ya?

Jadi, dari setidaknya ada 671 Bahasa Daerah yang dimulai dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua, tersebar di 34 Propinsi. Beban pelestarian bahasa daerah menjadi milik siapa? Jika jawabannya, tanggungjawab kita bersama. Lah? Kita yang mana? Semua orangkah? Kalau iya, mungkihkah bisa terlaksana? Jika tidak, lalu siapa? Bagaimanakah caranya?

Aikh...! Maafkeunlah! tulisan ini, dari kacamata pribadi. bisa jadi berbeda dengan daerah lain. Biarlah aku titip tanya, ya? Biar jawabannya, dicari bersama. Haha...
***
Curup, 21.02.2019
Zaldychan
Ikut Rayakan Bahasa Ibu Internasional
***
Taman Baca:
Kisspary
Wikipedia
Sijoripost

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun