Banyak orang gelisah dengan perilaku penyelenggara negara yang korup. Perilaku mereka yang memanfaatkan kekuasaan untuk menyelewengkan anggaran negara telah benar-benar mengoyak rasa keadilan terdalam masyarakat. Begitu banyak kontradiksi yang nyata-nyata bisa kita lihat, baca dan dengar antara kehidupan masyarakat kecil dengan penyelengara negara. Ibarat bumi dan langit. Ketika masyarakat kesulitan untuk menjalani kehidupan, para penyelengara negara begitu mudahnya mengeluarkan uang untuk kenikmatan dan kepentingan mereka. Ketika anak-anak di Lebak Banten harus mempertaruhkan nyawa menyeberangi jembatan yang rusak parah untuk kesekolah,penyelenggara negara di parlemen begitu mudahnya mengeluarkan dana yang sangat besar demi sebuah ruang sidang yang kecil. Satu demi satu pertunjukan yang dipertontonkan oleh penyelenggara negara di republik ini membuat kita muak, karena nafsu duniawi mereka benar-benar tidak terkontrol dan nafsu itu menuntun mereka untuk terus mengorbankan masyarakatnya
Penyelengara negara, didominasi oleh birokrasi dan politisi. Meraka ada di lembaga eksekutif,legislatif dan yudikatif. Merekalah yang mempunyai kekuasaan untuk merencanakan, mengumpulkan dan menggunakan anggaran. Karena kekuasaan yang besar, mereka pulalah yang juga mendominasi kasus-kasus korupi di negeri ini. Pertanyaanya adalah mengapa mereka berani melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas di larang oleh agama dan juga ideologi negara, Pancasila?.
Banyak hal yang membuat orang berani melakukan korupsi. Namun ada dua hal pokok yang mendorong korupsi marak di negeri beragama dan Pancasila ini. Pertama masalah penegakan hukum yan lemah dan kedua masalah sanksi sosial yang tidak ada dimasyarakat.
Hukum tunduk ditangan penguasa
Kita miris melihat perlakuan hukum terhadap manusia di Indonesia. Ketika orang-orang kecil, orang-orang pinggiran yang tidak mempunyai kekuatan kekuasaan dan uang, berhadapan dengan hukum, penegak hukum begitu perkasa menegakan pedangnya. sebaliknya ketika orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang berhadapan dengan hukum, penegak hukum seperti gagap,tumpul untuk menghunus pedangnya. Alhasil orang-orang kecil yang mencuri kakao,piring,sandal dihukum tidak jauh berbeda dengan pejabat yang mengkorup milyaran uang negara. Ini tidak adil, siapapun yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya pantas dihukum, namun tentu lamanya masa hukuman tersebut harus berbanding lurus dengan akibat yang ditimbulkanya.
Kekuasaan, baik kerena kekuatan jabatan maupun kekuatan uang, mampu mengatur hukum dinegeri ini, para pemilik kekuasaan yang terlibat kasus hukum mampu mengatur hukum melalui permainan antara pengacara,polisi,jaksa dan hakim sehingga akhir keputusan dipersidangan sangat menguntungkan terdakwa, apakah ia diputus bebas maupun dihukum dengan masa kurungan yang ringan. Belum lagi dipotong masa remisi yang bisa didapat oleh siapapun yang sedang menjalani masa hukuman.
Akibat dari hal ini pelaku korupsi yang melibatkan aparat negara, tidak jera melakukakan tindakan korupsi terus menerus, karena mereka memiliki keyakinan bahwa korupsi lebih menguntungkan daripada tidak melakukan korupsi, tidak hanya menyangkut masa hukuman yang ringan namun hasil korupsi masih tersisa banyak setelah mereka keluar dari penjara. Dalam logika para pelaku korupsi, seandainya pun mereka harus berhenti bekerja, kekayaan dan simpanan tabungan yang telah mereka miliki akan lebih besar daripada gaji yang diterima selama sisa masa kerja mereka.
Hilangnya sanksi sosial masyarakat
Selain lemahnya penegakan hukum yang dilakukan aparat negara, hal lain yang membuat korupsi seperti tidak habis-habisnya juga dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap pelaku korupsi itu sendiri'. Kita secara keseluruhan memberikan andil bagi suburnya praktek korupsi itu sendiri.
Didalam sebuah wawancara televisi ketika membahas film Kita dan Korupsi yang diproduksi oleh KPK dan bekerjasama dengan Transparancy International Indonesia (TII) dan Usaid, Teten Masduki mengeluhkan sikap masyarakat yang terlalu lemah terhadap pelaku korupsi. Masyarakat seperti tidak memiliki keinginan untuk memberi efek jera kepada pelaku korupsi melalui sanksi sosial yang dapat mereka lakukan. Menurut Tetan, Banyak pelaku korupsi yang masih mendapat penghormatan semata-mata karena ia pejabat, memiliki kekayaan dan pernah memberikan sumbangan bagi pembangunan rumah ibadah ataupun kegiatan soaial. Mereka mendapat dukungan ketika dipersidangan dan juga penyambutan hangat ketika masa hukuman berakhir.
Kalau sikap masyarakat terhadap pelaku korupsi masih seperti ini, tentu di benak para pelaku korupsi, korupsi bukanlah beban sosial karena penilaian masyarakat terhadap seseorang,penghormatan masyarakat terhadap seseorang lebih karena kekayaan yang dimiliki bukan perilaku sesorang itu merugikan atau tidak.