Pasal 1 UU Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi (UU Nasionalisasi) yang menaruh kata 'bebas' dalam isi kalimat dirasakan ambiguitas. Seperti "abu-abu". Tidak kuat dan kokoh di negara Indonesia.
Rasanya: wajar kalau saat ini gugatan uji materiilnya disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Meminta para majelis hakim MK untuk menafsirkan makna kata 'bebas' dalam kalimat pasal 1 UU Nasionalisasi lebih berdaulat.
Sebab kata 'bebas' lemah secara perlindungan hukum. Padahal aset nasionalisasi itu membutuhkan perlindungan hukum. Tidak diganggu gugat berdalih hukum. Aset nasionalisasi itu bukti kekuasaan pemerintah Indonesia.
Lantas apa jadinya kalau kewenangan pemerintah, kedaulatan negara Indonesia, dapat dan terus diganggu oknum tertentu beralibi hukum?
Dalam pasal 1 UU Nasionalisasi, makna kata 'bebas' masih terbatas pada kedudukannya. Keberadaannya yang bebas di wilayah NKRI. Namun belum ada jaminan aset nasionalisasi juga 'bebas' dari tuntutan hukum untuk kembali direbut.
Secara hukum perdata internasional, juga ada kaitan dengan aset nasionalisasi. Menjadi barang yang tak boleh lagi disengketakan di ranah publik. Terlindungi.
Indonesia memiliki banyak khasanah sejarah aset nasionalisasi. Kalau semuanya diganggu, dituntut secara hukum, maka pasal 1 UU Nasionalisasi perlu dimaknai ulang aspek perlindungan hukumnya.
Contoh saja beragam aset nasionalisasi. Ada: Istana Oei Tiong Hoam di Semarang, Jawa Tengah. Lalu SMAK Dago di Bandung, Jawa Barat. Kemudian Chartered Bank Building di Jakarta.
SMAK Dago merupakan dampak lemahnya pasal 1 UU Nasionalisasi tentang makna kata 'bebas'. Bertahun-tahun, sejak lama terus mengalami tuntutan hukum dari kelompok tertentu yang coba mengklaim kembali aset SMAK Dago.
Padahal pihak YBPSMKJB sebagai pengelola telah membeli secara legal dari negara. Artinya: negara juga telah menyerahkan untuk dikelola demi kepentingan publik
Sudah saatnya menjaga aset yang diambilalih pemerintah dari bangsa asing dengan menafsirkan makna perlindungan hukum dalam pasal 1 UU Nasionalisasi.