Ditengah masa dimana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mencanangkan Gerakan Indonesia Membaca, mulai dari pencanangan di Parigi Moutong (Sulawesi Tengah), disusul di Karawang, Provinsi Papua, dan besok (20/11) di Pasuruan (Jawa Timur), terbaca kabar berita yang sangat mengentakkan jagad literasi Indonesia. Tribun Pontianak melaporkan 1 ton buku (yang berjumlah ribuan) berstempel Perpustakaan Daerah Kalimantan Barat dijual ke sebuah penampungan barang bekas.
Dari investigasi Tribun Pontianak, bahkan ditemukan ini bukan kali pertama pemilik penampungan barang bekas membeli buku yang diantar petugas dengan menggunakan mobil Perpustakaan Keliling. Dua tahun sebelumnya, ia menerima 3 ton, hingga harus diangkut 4 kali.
Sangat ironi sekali ketika beberapa pegiat literasi Indonesia (di Pulau Jawa) bergerak mengumpulkan buku-buku yang sebagian akan dikirim ke perpustakaan sekolah di wilayah pedalaman Kalimantan Tengah, ternyata ada tindakan tak bertanggungjawab dari oknum Perpusda masih di wilayah Kalimantan (Kalimantan Barat). Para pegiat budaya baca, Taman Bacaan Masyarakat, Sudut Baca, Perpustakaan Desa, yang membaca berita itu langsung melontar komentar yang menyayangkan tindakan oknum.Â
Pasalnya, tidak ada alasan apapun yang mengijinkan penjualan itu, meskipun dengan alasan jumlah koleksi berlebih, tempat tidak mencukupi. Kalau pun demikian, ada beberapa langkah yang pastinya dapat dilakukan tanpa harus menjual yang pada akhirnya akan masuk ke mesin daurulang kertas. Masih banyak perpustakaan sekolah, desa, tepat ibadah, perpustakaan masyarakat yang sangat membutuhkan penambahan koleksi. Bahkan, keterbatasan koleksi sering menjadi alasan perpustakaan-perpustakaan ini statis bahkan nyaris mati. Intan Savitri (tulisen.com) juga mengusulkan digitalisasi untuk mengatasi keterbatasan ruang.
Overload koleksi dapat diatasi dengan beberapa langkah yang diputuskan secara bertanggungjawab oleh Kepala Perpustakaan Daerah.
Pengawasan terhadap jumlah koleksi buku memang suatu hal yang terbilang sulit. Hanya orang dalam perpustakaanlah yang dapat mengetahui jumlahnya, adanya penambahan dan pengurangan, serta rawan dipermainkan. Ambil contoh, tanpa harus saya sebutkan pelakunya, perpustakaan-perpustakaan lembaga formal dengan menggunakan dana negara membeli buku-buku murah yang digelar penerbit mayor (Gramedia, Mizan, penerbit-penerbit Yogyakarta), lalu membelinya dalam jumlah besar. Karena 4 tahun lalu, saya pernah menemui buku yang tak layak di sebuah perpustakaan SMP, muncul dugaan buku ini dibeli dari penjaja buku di bus-bus. Mengapa saya katakan tidak layak? Karena antara sampul, judul dan isinya bertentangan sekali. Cerita berjudul Kisah Malin Kundang, tetapi isinya tentang cerita rakyat daerah Jawa Timur. Bahkan satu cerita bisa muncul 2 kali dengan judul yang berbeda. Sayang sekali, saat itu saya masih menggunakan HP jadul tanpa kamera.
Buku-buku murah dengan sampul yang masih bagus, terbungkus wrap, bukan tidak mungkin dapat dicarikan nota dengan harga full 100% baru, atau berdiskon 20-30% saja. Memang ada penerbit-penerbit dan toko-toko buku yang tak bersedia bekerjasama untuk tindakan semacam ini. Karena membelinya juga dengan harga yang sangat murah (bahkan ada yang hanya 20% dari harga full), ketika ada penambahan buku baru dengan cara pembelian serupa, sangat memungkinkan melepas buku-buku lama ke loakan.
Apalagi jika masih dianut prinsip bahwa Perpustakaan layaknya Satpol PP, tempat orang-orang yang terbuang. Mereka yang ditempatkan di Perpustakaan bukanlah orang-orang yang memiliki passion besar dalam dunia literasi, bahkan cenderung orang-orang yang dianggap "buangan". Stigma ini sudah bukan hal yang asing lagi. Maka tidak aneh jika mereka enggan melayani pemustaka dengan sepenuh hati.
Peristiwa penjualan koleksi Perpustakaan Daerah Kalimantan Barat yang sudah terjadi 2 kali ini perlu ditindaklanjuti hingga tuntas. Dalam kasus ini, media telah membantu pengawasan penyelenggaraan perpustakaan. Namun ada baiknya pelajaran ini mendorong munculnya sistem pengawasan penyelenggaraan perpustakaan, yang bagi sebagian pejabat dinyatakan sebagai "lahan basah", meskipun bagi sebagian petugasnya dianggap sebagai "tempat pembuangan". [***]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H