Mohon tunggu...
Muhammad Zaky Rabbani
Muhammad Zaky Rabbani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hukum Bisnis Univ. Esa Unggul, Fans Arsenal FC, Victoria Concordia Crescit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dulu Mahasiswa, Kini Penguasa

18 April 2016   12:03 Diperbarui: 15 Mei 2016   01:44 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pandangan umum, istilah mahasiswa  adalah sebutan bagi mereka yang melanjutkan pendidikan tinggi selepas menunaikan sekolahnya. Pandangan ini mengisyaratkan, mahasiswa adalah makhluk yang memiliki kemampuan intelektual lebih memadai, kepekaan sosial yang lebih tinggi, dari pada mereka yang mengakhiri pendidikannya di jenjang SMA.

Salah satu pengejewantahan dari kepekaan sosial mahasiswa, dengan titel agent of control yang melekat adalah mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat banyak. Dengan berbagai cara yang umum dilakukan sampai cara yang mengedepankan intelektual. Mulai dari aksi demonstrasi, menulis di media massa, hingga pengujian undang undang di Mahkamah Konstitusi. Semua itu dilakukan atas dasar keberpihakan pada rakyat lemah dan harapan lahirnya tatanan sosial yang lebih baik. Oleh karena itu tidak berlebihan jika mahasiswa mendapat gelar makhluk Tuhan yang idealis.

Mahasiswa pun dielu elukan masyarakat. Sebagaimana W.S Rendra seorang penyair masyhur, meciptakan puisi “Sajak Pertemuan Mahasiswa”. Tak ketinggalan, banyaknya lagu yang lahir dengan betemakan mahasiswa. Lagu Darah juang karangan John Tobing, Totalitas Perjuangan, Buruh Tani, dan sebagainya. Pendek kata, di pundak mahasiswa lah harapan masyarakat bertumpu.

Seiring berjalannya waktu, para pemegang kekuasaan harus menyudahi tugasnya sebagai pengemban amanat rakyat. Untuk meneruskan pemerintahan, harus ada pemimpin baru. Maka diadakan pemilihan untuk mencari pemimpin yang sesuai pilihan rakyat. Banyak orang yang dulunya  mahasiswa, berkontestasi merebut posisi pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif. Disnilah “keistiqomahan” idealisme mantan mahasiswa diuji ketika terpilih menjadi pemimpin rakyat.

Tak dapat dipungkiri, menjadi pemimpin rakyat adalah amanah besar yang berimplikasi pertanggung jawaban dunia dan akhirat. Terpilihnya pemimpin baru adalah harapan masyarakat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan. Harapan didengarnya isak tangis balita yang tidak mampu minum susu karena orang tuanya miskin. Harapan didengarnya suara putus asa seorang anak yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Dan harapan didengarnya suara perut keroncongan dari keluarga yang tinggal di gubuk reyot.

Kalau kita refleksikan,antara mahasiswa dan pemerintah ada kaitan yang sangat erat. Pemerintah adalah hasil transformasi dari mahasiswa. Artinya adalah, Para pemimpin yang duduk saat ini ialah mereka yang dulunya menjadi mahasiswa. Yang dulunya mengkritisi kebijakan, kini membuat kebijakan. Yang dulunya berdiri berteriak menyampaikan aspirasi melalui TOA, kini melalui microphone  sambil duduk di bangku mewah.

Namun yang sering kita dengar, ketika seseorang memiliki jabatan maka idealisme bertransformasi menjadi pragmatisme.  Kepentingan masyarakat yang dahulu diteriakkan berubah menjadi mulut bisu karena mengutamakan diri dan golongannya. Alhasil cita cita masyarakat akan lahirnya kesejahteraan, tatanan sosial yang baik, hanya menjadi utopia ketika menyematkan amanat kepada “mantan” mahasiswa yang menjadi penguasa.

Ironi memang melihat kenyataan diatas. Oleh karena itu, seyogyanya realita tersebut tidak akan terjadi lagi. Mahasiswa yang kini menjadi tumpuan harapan masyarakat harus konsisten menjadi garda terdepan dalam perwujudan kemakmuran rakyat. Jika disaat mahasiswa turun kejalan untuk berdemo, maka ketika menjadi penguasa hendaknya turun langsung melihat kondisi rakyat. Jika disaat mahasiswa menentang korupsi, maka camkan dalam diri untuk tidak mencuri sepeser pun uang rakyat. Dengan demikian, walaupun mahasiswa telah bertransformasi, nilai idealismenya tetap abadi.       [caption caption="Sumber : ruangnews.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun