Mohon tunggu...
Muhammad Zaky Rabbani
Muhammad Zaky Rabbani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hukum Bisnis Univ. Esa Unggul, Fans Arsenal FC, Victoria Concordia Crescit

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islam Dibawa ke Politik?

10 Februari 2017   15:34 Diperbarui: 10 Februari 2017   18:25 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Sumber : nu.or.id "

[/caption]Perbincangan mengenai Islam dan Politik seakan tidak pernah ada habisnya, penuh pro kontra dan silang pendapat. Setidaknya ada dua padangan bersebrangan terkait topik Islam dan Politik. Pandangan pertama berpendapat bahwa Islam dan politik harus dipisahkan karena sifat dasar keduanya yang berbeda. Satu sisi Islam adalah agama yang bersifat transcendental, suci, ukhrawi, sedangkan politik adalah profane, temporal, serta duniawi. 

Dua subjek itu jelas sekali berbeda, oleh karenanya agar Islam yang suci itu tidak ternodai oleh politik yang bersifat duniawi, keduanya harus dipisahkan. Pandangan kedua berkata lain, bahwa Islam dan politik adalah kedua hal yang tidak dapat dipisahkan. Islam bukan hanya agama yang mengajarkan aspek ritual, semacam shalat, puasa, zakat dan haji, namun juga aspek sosial politik, yaitu menjadikan nilai nilai Islam sebagai pengejewantahan berbangsa dan bernegara.

Perbedaan pandangan ini sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Setengah abad lalu, terjadi polemik antara Soekarno dan M. Natsir. M. Natsir yang dikenal sebagai tokoh fundamentalis Islam menyerukan agar pendirian negara ini berdasarkan Islam, Islam sebagai way of life. Bahkan, pidatonya di depan parlemen pada saat itu diberi judul yang menohok, “Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau atheis”. 

Sedangkan Soekarno, menolak keras pendirian negara berdasarkan Islam, dia memilih konsep negara kebangsaan yang senasib sepenanggungan tanpa melihat suku, ras, maupun agama. Ditambah Soekarno mengidolakan Mustafa Kemal At-Turk, tokoh sekuler  yang meruntuhkan Dinasti Ottoman, khalifah Islamiyah terakhir di Turki.

Belakangan topik ini kembali mencuat saat Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai ormas Islam lain menyerukan untuk tidak memilih pemimpin yang beda agama, berdasarkan Al Quran surat Al Maidah ayat 51. Fakta ini jelas menyatakan bahwa FPI dan kelompok Islam lain yang senada menggunakan Islam sebagai pijakan politik. Kembali timbul pro kontra, ada yang setuju karena itu perintah kitab suci yang tidak dapat ditawar lagi. Namun tidak sedikit pula yang mencibir, terlebih mereka yang berada di pihak paslon nomor 2, menganggap tindakan tersebut bernuansa politis, dan dapat menjadi ancaman dalam merebut DKI 1.

Kalau kita menilik sejarah, salah satu faktor tersebarnya Islam ke seluruh dunia adalah karena strategi politik. Dahulu, cara yang digunakan untuk mendapatkan daerah kekuasaan politik adalah dengan berperang. Ekspedisi Khalid bin Walid beserta pasukannya menggempur kekuasaan Persia dan Romawi, ekspansi Tariq bin Ziyad untuk menaklukkan Andalusia, semuanya didasarkan atas Islam, menjadikan Islam sebagai asas perjuangan, pijakan politik, sehingga Islam tersebar ke seantero dunia. Kalaulah pada saat itu dipahami bahwa Islam harus dijauhi dari politik, maka tidak mungkin agama ini akan bertahan hingga sekarang.

Bukan hanya umat Islam yang menjadikan agama sebagai pandangan politik. Umat agama manapun dalam lingkungan mayoritas akan menjadikan agama sebagai dasar pijakan politik. Di Amerika, tidak mungkin yang menjadi presidennya seorang Muslim, karena mayoritas disana nasrani. Bahkan, walaupun tidak tertulis dalam konstitusi, sebagaimana menurut Ahmad Sumargono, di Amerika berlaku konsep WASP (White, Anglo Saxon, Protestan). Terbukti hingga kini, belum ada pemimpin Amerika yang beragama Islam.

Menilik lebih jauh tentang konsep Islam dan politik. Mengutip pendapat Hassan Al Banna, seorang cendekiawan muslim asal Mesir, bahwa “Seorang muslim yang hanya sibuk beribadah, namun mengabaikan kondisi umat yang rusak, menyerahkan urusan politik kepada orang yang berdosa, maka dia bukan seorang muslim, karena hakikat muslim adalah jihad, kerja keras, agama dan negara”. Lebih jauh disebutkan bahwa kesempurnaan Islam seseorang adalah keterlibatan dalam aktivitas politik

Jadi jelas, bahwa tindakan mengatasnamakan agama untuk politik adalah SAH, selama tindakan tersebut untuk kemaslahatan umat, kemajuan Islam dan negara.

Eh.. alih alih membenci keterlibatan agama dalam politik. Malah mengadakan istighosah, shalawatan, demi mendapat “kembali” dukungan, ditambah nyebar buku mini yang berisi sekelumit dalil tentang “halalnya” memilih pemimpin beda keyakinan.  Ada yang seperti ini? Silahkan jawab sendiri.   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun