Mengapa anugerah Tuhan ini benar-benar bisa mengingat jauh lebih baik peristiwa kemarin dibandingkan peristiwa tahun kemarin dibandingkan peristiwa tahun lalu, dan, yang paling baik peristiwa satu jam lalu? Mengapa, dalam usia lanjut, memori merekam peristiwa masa kanak-kanak secara lebih kuat? Mengapa harus mengulang suatu pengalaman bisa memperkuat ingatan kita tentang itu? Mengapa obat-obatan tertentu, demam, sesak napas, dan semangat bisa mengingatkan kembali hal-hal lama yang terlupakan? Keanehan seperti itu tampak fantastis; dan mungkin, sejauh kita dapat melihat secara apriori, menjadi lawan kata yang tepat dari apa mereka adanya. Maka, jelas, itu tidak eksis secara mutlak, tetapi bekerja dibawah kondisi tertentu; dan pencarian terhadap kondisi itu menjadi tugas paling menarik bagi psikolog.
William James (Principles of Psychology, 1890).
Foster (2009) dapat dikatakan bahwa memori adalah proses psikologis kunci. Sebagaimana dinyatakan cognitive neuroscientist terkemuka Michael Gazzaniga: “segala sesuatu dalam hidup ini adalah memori, kecuali tepian tipis pada saat sekarang ini”. Memori kita memang bersifat personal dan internal. Namun, anpa memori, kita tidak akan mampu melakukan indakan eksternal misalnya melakukan percakapan, mengenali wajah teman-teman kita, mengingat janji, atau bahkan belajar berjalan.
Setiap kali pengalaman tentang beberapa peristiwa masa lalu mempengaruhi seseorang pada waktu lain didepan, pengaruh dari pengalaman sebelumnya itu merupakan cerminan dari memori masa lalu. Sebab, memang meori jauh lebih daripada sekedar memasukkan ke dalam otak atas informasi yang ditemui beberapa waktu sebelumnya.
Selanjutnya, Foster (2009) menjelaskan demikian pula ketika memori memainkan peran apakah kita berniat atau tidak untuk belajar. Bahkan, relative sediit dari waktu kita yang digunakan untuk berusaha merekam peristiwa untuk aktivitas mengingat diwaktu kemudian, sebagaimana dalam studi formal. Sebaliknya, dalam sebagian besar waktu, kita hanya bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Tapi, jika dalam kehidupan sehari-hari ini, sesuatu yang menonjol terjadi, maka proses fisiologis dan psikologis yang sudah lama di matangkan itu akhirnya bisa “menendang”, dan kita biasanya bisa mengingat persitiwa ini dengan cukup baik.
Mengenai bagaimana memori bekerja, ada banyak model berbeda jika diruntut kembali ke zaman klasik. Sebagai contoh, Plato menganggap memori seperti tablet lilin, dimana kesan akan dicetak atau encoded (dikodekan), dan kemudian stored (disimpan), sehingga kita bisa kembali ke kesan itu da retrieve(mengambil kembali) di lain waktu. Sementara itu, filsuf lain dalam era klasik ada yang menyamakan memori dengan burung-burung di sangkar besar atau buku-buku di perpustakaan besar. Ini menggarisbawahi kesulitan untuk mengambil informasi setelah disimpan, yaitu, menangkap burung yang tepat atau mencari buku yang tepat.
Para teoris kontemporer mengapresiasi bahwa memori adalah proses selective (selektif; mengandung unsur pemilih-milihan) dan interpretive (intepretif; mengandung unsur penafsiran). Dengan kata lain, terkait memori, ada lebih banyak hal daripada sekedar penyimpanan informasi secara pasif. Lebih jauh, setelah mempelajari dan menyimpan informasi baru, kita dapat memilih, menafsirkan dan mengintegrasikan satu hal dengan yang lain-sedemikian rupa sehingga kita dapat menggunaka secara lebih baik atas apa yang kita telah pelajari dan ingat.
Sebuah Anonim: jika ingin menguji memori, cobalah mengingat apa yang anda khawatirkan sekitar satu tahun yang lalu pada hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H