Mohon tunggu...
Zakiyatul Muti'ah
Zakiyatul Muti'ah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sejarahkan kisah saja..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Zabran!

11 Desember 2014   23:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:30 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hitam sekali dalam pekat lamunan dia. Dia itu manis. Bahkan jika hitam selalu disampaikan dengan hitam manis, sebenarnya tidak selalu begitu. Itu hanya pembelaan. Entah agar apa, yang pasti di dunia ini masih kebanyakan argumen dengan tumpukan perspektif. Bagus, tapi tentu susah akur. “

Masih menunggu paginya hari, tergesa gesa Leia menutup pintu kamar mandi menuju tempat tidur yang sebenarnnya disatu ruang sama. Buru-buru ia menarik secarik kertas dan pulpen. Mulai menulis lagi. Pukul 23.56. “ah, belum tengah malam”. Pikir Leia. Bergegas ia menyelesaikan tulisan tentang seseorang.

“Berkeliling kota menaiki angkot sepertinya menjadi hobi bagi seorang Zabran. Dengan alasan begitu sederhana “barangkali aku melihat yang terselip, selain yang sudah pernah akulihat” begitu saja. Sederhana mungkin, tapi tentu bagi orang lain itu cuma buang- buang waktu. Jangan dikira pula dia sekeren namanya. Bahkan sepatunya tidak akan ganti meski musim telah berganti. Sederhana tapi rapi. Tapi aku juga tidak pernah melihat sesuatu yang jorok dari dia. Tapi satu yang pasti, Zabran bukan banci! Meski ia masih gampang terharu, gampang menangis, gampang perhatian, ia tetap cowok tulen dan aku percaya itu. Aku merasa, jika tentang kata hati, maka hanya hati yang berkata Zabran akan aku ikuti. Tidak yang lain.”

Di sudut sana..

Berkali-kali aku berusaha seperti laki-laki normal, yang katanya selalu berfikir dengan logika. Tidak pernah berhasil. Sekaligus aku tidak minat. Tapi percayalah, aku bukan banci. Benar-benar bukan! Hanya karna aku sering berjalan-jalan dan lantas begitu mudah iba, itu memang karakterku. Bagaimana lagi. Seperti sore itu, aku melihat seorang penjual nasi pecel dan nasi campur di gang belakang kampus. Pria paruh baya, kira-kira usia 40 tahun-an, dengan wajah lelah. Lelah menunggu, karna seharian sepi sekali orang-orang yang mau membeli dagangannya. Entah karna apa.

Iseng saja aku membeli nasi pecel itu. Meski pada keadaan normalnya, semua orang tahu, sore hari bukan suasananya lagi menikmati nasi pecel. Apapun lah, aku tidak tega dan kasihan akhirnya aku beli saja 10 bungkus. Sisa uang untuk makan minggu ini habis. Tidak apa-apa. Selalu ada jalan untuk menjemput rezeki. Begitu fikirku.

“pak, makasih ya... maaf kalo boleh saran, bapak mendingan jualannya pindah lokasi aja. Atau akan lebih baik, jikabapak berhenti dulu jualan nasinya. Cari terobosan baru gitu pak, biar agak rame dan tambah laris.” Aku berusaha sangat hati-hati menyampaikan maksudku.

Bapak penjual itu diam saja dan sedikit bengong menatapku. Entah suka entah tidak. Aku bergegas saja pergi. Sebab aku ingat dengan cerita seorang dosen dikelas, tentang mahasiswa yang judul skripsinya tidak juga di acc. Dosen itu menyarankan kepada mahasiswanya untuk melakukan inkubasi. Semacam proses berkholwat mungkin ya, menyendiri, tanpa urusan dari rutinitas harian, dan sebenarnya sih tidak berbeda jauh dengan liburan. Penenangan diri. Dan anehnya, kok berhasil ya? Sesuai teori rupanya. Dan aku yakini itu.

Siapa tau bisa berlaku buat seorang pedagang. Fikirku. Sambil menuju jalan pulang, aku bertemu dengan segerombolan ibu-ibu yang selalu “mangkal” minta sumbangan di area ATM. Mereka sedang sibuk menhitung “jerih payah” hasil bekerja seharian. Menghampiri pelan-pelan, berfikir jika nasi pecel dimasukkan amplop saja, pasti mereka lebih senang dan bahagia dunia akhirat. Ah, konyol!

Aku beri saja mereka 9 nasi pecel yang tadi aku beli. Sebenarnya 10 memang. Aku sisakan satu untuk Leia, temanbaikku.

Entah siapapun itu, jika seperti dalam sulitnya kehidupan, keribetan masalah hidup, atau mungkin juga pura-pura dengan tampang menderita, aku tidak tega. Terlebih jika sudah lanjut usia dan masih bekerja keras membanting tulang padahal tulang mereka rentan sekali untuk keropos, siapa yang peduli? Mungkin aku tidak bisa membantu mengentaskan kesulitan seperti itu. Setidaknya, aku selalu berusaha membeli apa yang mereka jual, dan tidak berharap mendapat uang kembalian. Jika sudah seperti itu, lagi-lagi aku akan mendapat ceramah interaktif dari Leia.

*****

“Ya aku sih, coba-coba Lei..” jawabku sambil tersenyum tidak yakin.

“terus kalo bapak itu tersinggung gimana? Ngapain jugag sih uang kembalian 44 ribu ditinggal disana? Besok aku ambil pokoknya. Gag usah sok banyak duit deh walopun iya” Leia menanggapi dengan wajah sok serius.

“tapi jika sudah lapar dan dapat makanan gratis, siapa yang banyak omong? Itu kan kata-kata dari kamu Leia..” sambil aku suapkan saja nasi pecel yang aku beli tadi. Ia terdiam.

“ini masakan apaan lagi ga ada asin manisnya” komentar Leia

“ya ini nasi pecel bapak penjual tadi Lei..” jawabku

“ya pantes aja gag laku” jawabnya penuh cibir.

“Lei setiap orang akan selalu belajar. Hal apapun itu. Makanya butuh kritikan dan masukan”

“oh… teori lagi” jawab Leia dengan malas.

Leia adalah teman tercantik di komplek perumahan yang aku tinggali. Keluarga baik-baik. Tidak banyak kelebihan. Tapi yang mengagumkan dan membuat tercengang adalah, baginya hidup ini cuman soal bagaimana mengembalikan uang pendidikan dari orang tua yang telah membiayainya selama ini. Dan dia sedang berusaha mati-matian untuk itu. Leia juga kadang memakai jilbab. Ketika aku tanya kenapa tidak diteruskan saja biar istiqomah, “aku gag mau pake jilbab gara-gara masih ngikutin trend. Ntar aja Bran, kalo trend hijab udah ilang. Aku mau nunggu kata hati aku yang bener-bener. Bukan kena doktrin dan ikut-ikutan”

Padahal menurutku,trend ini malah akan terus berkembang. Tapi Aku diam saja. Percuma jika terlalu ngotot berbicaradengan Leia, tiada hasil.

*****

Beberapa minggu kemudian, aku melihat bapak penjual nasi pecel itu lagi. Aku menyapanya sambil memelankan laju motorku.

“udah jualanlagi pak? Kemaren kok lama gag keliatan ya?” tanyaku.

“Iya mas.. 3 minggu saya pulang ke kampung, Ternyata kata ponakan saya masakan saya kurang enak. hahaha” Jawabnya sambil tertawa.

Aku tersenyum dan pamit meneruskan perjalanan. Tentu aku sudah tau dari awal. Tapi tidak enaklah jika bicara blak-blakan. Menjaga perasaan itu lebih penting daripada memberi seribu cinta yang cuma kata-kata.

*****

Jelang senja, aku dan Leia memilih kedai kopi disudut jalan untuk melakukan rutinitas yang menjadi hobi, membahas perasaan dan logika, dan hati, yang tidak berani sejujurnya aku ajukan sebagai pembahasan. Sebab aku, tidak begitu siap.

Kami memilih kursi dilantai satu dengan pemandangan jalan kota yang sederhana, bangunan tua, dan aktivitas kendaraan dengan volume sedang, lancar. Kami memesan kopi dan beberapa camilan, berbeda tentunya. Aku dan Leia seperti tidak pernah miliki sesuatu yang sama.

“Lei, sore kemaren akungelihat seorang kakek dan istrinya berjualan gorengan dan kopi di pinggir jalan. Beberapa saat aku perhatiin, mereka dengan wajah datar,tanpa berkata satu sama lain. Kemudian, saling memandang dan tersenyum. Bahkan sang kakek masih berusaha seperti memberi candaan nyampe akhirnya membuat istri tertawa. Mereka sebahagia itu, bahkan tanpa melirik mewahnya dunia sepanjang jalan. Kok bisa ya Lei..” aku membuka percakapan.

“itu karna mereka udah tua Zabran.. pasrah aja. gag ada yang dipikirin lagi selain diri mereka berdua. Anak-anaknya juga mungkin entah dimana. Ya udah lah. Banyak kok yang kayak gitu di dunia ini. Ya bagus lah kalo mereka bahagia”

“kamu nggak merasa ada yang lain dimata mereka?”

“apaan sih? Gag usah lebay deh Bran. Emang kita bisa apa?”

Zabran diam. “Nyatanya memang manusia sosial tidak bisa sepenuhnya berbuat banyak. Atau aku yang terlalu berperasaan?” batinnya dalam hati.

“Lei, kenapa ya Shahrukh khan kalo lagi nangis…..”

“Zabraaannn ! udah deh. Cengeng banget sih.!

Sejenak kami saling terdiam. Entah apa yang dipikiran masing-masing. Aku mencoba mengajukan sebuah pertanyaan.

“Lei, kamu nganggap aku gag bisa mikir pake logika. Emang gimana itu maunya? Menurutku dengan gag pake logika kita bisa jadi orang lebih peka sama sekitar kok”

“nih, gini ya Bran, berfikir atau bernalar itu, tugasnya akal manusia berdasarkan pengetahuan dia, melalui panca indera, terus diolah dan tujuannya buat mencapai kebenaran. Nah, pas proses berfikir itu, ditunjukkan dalam logika gimana wawasan berfikir yang tepat atau ketepatan pemikiran yang sesuai sama penggarisan logika, biasanya kita sebut dengan berfikir logis. Pokoknya mikir yang masuk akal deh Bran”

“perasaan juga masuk akal kan Lei..?

“iya, tapi terlalu mengikuti perasaan juga jadinya capek sendiri Bran. Belajar deh coba”

“belajar apa?”

“belajar mikirin masa depan. Jangan terlalu baik sama orang jugag.”

“kok gag nyambung?”

“logika sama perasaan emang gag bakal nyambung Bran!”

Aku diam. Lama-lama aku sadar, aku mencintainya. Dan cara dia mengajari logika. Dan usaha dia menunggu kata hati yang sebenarnya. Tiba-tiba Leia bersiap untuk pulang duluan.

“Nggak selalu perasaan dan kata hati itu akan selalu bener. Kadang logika juga punya kesempatan buat ngerasain bener, Bran”.

“aku pulang dulu, mama minta anter kondangan nih”

Aku hanya mengangguk.

Leia lalu pergi.

Dan aku tidak menahannya. Tidak ingin. Aku masih saja menikmati sisa-sisa kopi panas yang tinggal dingin. Memandangi jalan dimana Leia terakhir melintas dan, banyak sekali kendaraan mulai berebut jalan. Lalu berisik. Biarkan saja. Kopinya sayang jika ditinggal.

Ya. memang semenjak itu aku tidak mendalami perasaan dan jarang mendengar kata hati. Aku tidak sakit. Hanya sulit sekali mengendalikan rasa untuk tidak peduli terhadap orang lain. Aku berhenti menonton film-film india meski adik perempuanku selalu mengiming-imingi dengan film terbaru, Shahrukh khan, Amir Khan, ah tidak tahan rasanya! Aku juga berhenti mencari DVD-DVD korea karna aku baru sadar, itu membuang waktu. Membuat mataku sembab dan meningkatkan kepekaan ku dan rsa kasihan terhadap sekitar. Aku baru sadar, aku laki-laki. Dan laki-laki katanya menggunakan logika, bukan perasaan. Hanya aku mulai berfikir, setiap orang didunia akan berusaha. Dengan caranya masing-masing.

Aku baru sadar. sejak Leia pergi dan aku tidak menahannya, adalah kepergian Leia menuruti panggilan Dia. Kecelakaan itu yang merenggutnya. Aku bahkan tidak tau, setiap hari dia menulis tentang siapa aku. Hobiku tahunlalu dengan berbagai angkot. Dan, tidak logisnya aku.

Selembar yang mungkin disebut surat. Baru aku ingat masih tertinggal di saku bajuku, belum pernah sempat aku berikan kepadanya.

Dari Zabran..

“Aku tidak bisa mencium bau wangi makanan selezat apapun itu. Aku tidak bisa mendengar lagu seasyik apapun seperti menikmati hidupdan gayamu. Aku melihat kesedihan dimana-mana,sibuk mengurusi urusan tidak habis sampai tua, dan iba seperti jadi teman bermainku.. andai kau punya pacar, jangan yang seperti aku. Aku bahkan menangis melihat film sedramatis india dan sepatah hati korea.

tapi seumur hidup, aku akan menyesal jika tidak mengataknnya.

Lei, aku mencintaimu”

Ah.. andai Leia sempat membaca ini..

Aku sekarang bahkan tidak tau, ini penyesalan, atau hanya patah hati.

Ternyata kehilangan, adalah hal yang pasti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun